Ekstra chapter (1)

19.4K 2K 158
                                    



Malam panjang yang diselimuti hujan tak menyurutkan tiga mobil untuk melaju.
Mobil paling depan dan belakang senantiasa menjaga jarak aman agar mobil di tengah tidak tergelincir dari jalan. Seperti halnya hujan yang lebat, orang didalam mobil tengah tak henti-hentinya mengucapkan kata permohonan agar anak yang dipangkunya tetap sadarkan diri.

"Bibi mohon, jangan tutup matamu. Sebentar lagi kita sampai." Air mata terus mengalis disepanjang wajah Iyuki, menatap sosok dipangkuannya yang juga mentapnya dengan mata kosong, seolah-olah tak ada kehidupan disana.

"Sayang, cepatlah." Dengan suara bergetar, Iyuki menatap Steven yang mengemudi dengan serius agar tak menambah korban. "Oh, tidak tidak. Tetap terjaga, kita akan sampai." Iyuki semakin panik ketika melihat anak dipangkuannya semakin melemah dengan luka dimana-mana.

Ketiga mobil itu menambah kecepatan, tak butuh waktu lama ketiganya sampai didepan rumah sakit terbesar didaerah itu. Saat Stevan membuka pintu, Iyuki lansung melompat dan berlari masuk. Tampak para perawat dan dokter sudah menunggu mereka dipintu dengan membawa brankar.


"Langsung ke ruang UGD." Irene, selalu dokter utama memerintahkan perawat yang langsung diangguki oleh mereka.
"Kakak, dia akan baik-baik saja kan? Dia, hiks ... kumohon selamatkan ponakanku!" Air mata Iyuki semakin deras mengalir, dibelakangnya Stevan menyusul.

"Dia akan baik-baik saja, percayakan dia padaku." Irene memberi sugesti kepada Iyuki mencoba menangkan wanita itu.
Brankar yang membawa seoarang anak yang mengalami luka parah akhirnya masuk UGD, pintu tertutup meninggalkan lampu merah diatas pintu serta Iyuki dan Stevan juga beberapa pengawal yang senantiasa berjaga.

"Tenang lah, percayakan pada kakak!" Stevan memeluk Iyuki, menenangkan wanitanya. Melihat air mata yang terus mengalir dari mata Iyuki, sejujurnya membuatnya sakit hati.
"Dia, dia masih kecil, hiks. Dia ... dia hampir saja hilang dalam pelukanku. Oh, Stev. Bagaimana dia, dia bisa menghadapi cobaan seperti ini diusianya." Iyuki kembali tergugu, bahkan dada Stevan sudah basah dengan airmata.

"Kita akan membalasnya nanti, sekarang kau harus berhenti menangis. Lihat, matamu sudah bengkak." Stevan menghapus air mata yang terus mengalir di pipi Iyuki, membawa wanita itu untuk duduk.

Lima jam mereka menunggu, bahkan fajar telah menyingsing tapi tak ada seoarang pun merasa mengantuk. Terutama Iyuki yang sedari tadi menoleh untuk melihat pintu dan lampu merah diatasnya, berharap agar lampu itu padam dan pintu segera terbuka.

Tak lama dari harapan Iyuki, akhirnya pintu itu terbuka menampilkan Irene dan asistennya yang tampak lelah.
"Kalian berdua, ikut aku." Iyuki dan Stevan segera bangun dan mengikuti Irene.
Mereka memasuki ruangan pribadi Irene untuk mendapatkan penjelasan.

"Pertama aku akan mengatakan kalau kondisi anak itu sangat parah, bahkan ditengah-tengah operasinya, kami hampir kehilangan nyawanya." Nafas Iyuki tercekat, dan air mata yang dibendung sedari tadi tumpah lagi ketika mendengar penjelasan Irene.

"Sekarang, sekarang bagaimana kondisinya." Suara Iyuki lemah dan serak, matanya menatap lurus kearah Irene dengan sarat ketakutan.
"Sekarang dia telah melalui masa kritis, tapi aku yakin, kalau nanti dia akan kejang-kejang." Mendengar itu Iyuki semakin gelisah, segera Stevan memegang tangannya yang gemetar agar Iyuki kembali tenang.

"Empat tulang rusuk patah, tangan kanan serta kaki kiri patah, demam tinggi, gizi buruk, kulit penuh luka," Irene mengerutkan keningnya saat membaca laporan pasien. "Serta, terdapat bekas luka cambukan, sayatan juga hantaman benda keras dikepala. Oh, yaampun. Sebuah keajaiban untuk anak itu bisa bertahan sampai sekarang." Iyuki menatap kosong pada meja Irene, lebih tepatnya laporan yang telah diletakkan Irene tentang diagnosa ponakan kecilnya.

Rui Untuk DominicWhere stories live. Discover now