Oliver

622 46 36
                                    

Panti asuhan itu terletak di pinggiran sebuah kota kecil. Berupa bangunan besar tua yang bertempat di sekitar perbukitan. Ada sekitar belasan anak tinggal di sana. Sebagian besar dari mereka yatim piatu. Sebagian lagi ditelantarkan orangtuanya.

Salah seorang anak bernama Oliver. Dia merupakan seorang anak laki-laki yang terlahir cacat, tanpa jumlah mata yang lengkap, dan ditelantarkan oleh orang tuanya sendiri.

Oliver tidak ingat bagaimana ia bisa ada di panti asuhan ini. Dia tidak ingat siapa orang tua kandungnya, ataupun dari mana dia berasal. Yang ia ingat, dia tersesat di tengah kota sendirian saat terpisah dengan orang tuanya. Bertahun-tahun, tidak pernah ada yang datang mencarinya. Setelah menginjak cukup umur untuk mengerti, Oliver berkesimpulan bahwa orang tuanya memang sengaja membuangnya.

Untuk alasannya, Oliver juga cukup mengerti. Kurang lebih sama seperti penolakan yang dia dapat di tempat tinggalnya sekarang. Tidak ada satu pun dari anak-anak di panti yang mau berteman dengannya. Memang siapa yang mau bermain dengan si Cacat Mata Satu? Oliver tidak pernah diterima di manapun.

Tidak sampai suatu hari ibu panti menyuruh anak-anak berkumpul dan duduk rapi di ruang tengah. Di sampingnya, berdiri seorang anak laki-laki berkulit pucat dan berambut kemerahan. Wajahnya memiliki semacam bekas luka. Penampilannya sedikit menyeramkan, membuat anak-anak saling bersenyembunyi di balik bahu, takut-takut mengintip.

"Namaku Fukase. Salam kenal."

Dia adalah seorang anak baru.

Bukan hal yang spesial, karena tidak jarang lagi panti ini menemukan anak-anak terbuang maupun yatim piatu sepertinya. Anak itu hanya terlihat mencolok dengan sifat dingin dan pendiamnya. Seminggu sejak kedatangannya, dia mengurung diri di kamar tanpa ikut bermain di halaman layaknya anak-anak lain.

Duduk diam di kasur, matanya menatap keluar jendela; ke halaman belakang yang luas di mana segerombolan anak-anak seumurannya tengah bermain bola.

Salah seorang anak menendang bola terlalu keras hingga terpental jauh. Bola itu jatuh di sekitar Oliver yang sedang bermain sendiri di kotak pasir. Oliver memungut bola itu, mendekati mereka untuk mengembalikan bola mereka.

"Boleh aku ikut main?" tanyanya.

"Memangnya kamu bisa main bola?"

Ucapannya dibalas dengan nada mengejek, tapi Oliver mengangguk cepat dan tersenyum. Anak-anak itu saling bertukar pandang, lalu tertawa.

"Matamu, 'kan, cuma ada satu! Nanti pasti tidak bisa melihat dengan jelas dan malah mengacau!"

"Sudahlah, ayo kita pergi ke tempat lain! Aku tidak mau main dengan Si Cacat," kata seorang anak sembari membalikkan badannya dan pergi, diikuti teman-temannya yang lain.

Di tengah halaman yang menyepi, Oliver hanya menatap punggung mereka yang menjauh. Bocah itu berjongkok, mengambil sebongkah batu, lalu mulai menggurat-gurat sesuatu di tanah.

Fukase terperanjat. Beranjak dari tempatnya menonton dari balik jendela, dia pun keluar dari kamarnya dan berjalan ke halaman.

"Hei."

Kaget, Oliver terjengkang dari jongkoknya hingga terjatuh. Bocah itu mendongak menatap siapa yang bicara, mengerjapkan matanya beberapa kali. Dengan gestur canggung, tangannya menggaruk belakang kepala.

"Fukase? Aku pikir siapa, kau membuatku kaget ..."

Mengabaikan kata-katanya, Fukase ikut jongkok di samping Oliver. "Apa yang sedang kautulis?"

"Bukan apa-apa!"

Oliver buru-buru menghapus guratan yang dia buat itu. Percuma, mata jeli Fukase sudah menangkap seekor makhluk aneh di tanah, sekalipun tertutup kaki-kaki Oliver yang malu gambarnya dilihat orang lain.

Vocaloid ーoneshoot collectionWhere stories live. Discover now