Diary [Oliver x Yuki]

399 25 44
                                    

Saat kelopak matanya akhirnya setengah terbuka, Yuki menangkap pemandangan yang tampak kabur di hadapan. Orang-orang berkerumun di sekitarnya, berbisik-bisik, memasang wajah prihatin. Sebagian lagi tampak panik, berbicara padanya, berbicara pada telepon yang ditempel di telinga. Suara bising, sirene mobil polisi ... atau ambulans? Yuki lupa apa beda keduanya.

Kepalanya terlalu pusing untuk berpikir. Belakang kepalanya sakit. Sekujur badannya ngilu. Lagipula, dia sedang terbaring di aspal sekarang. Tetapi, kenapa dia di sini? Harusnya, dia sudah memberikan buku diarinya kepada Oliver.

Ah, bukunya, bukunya ... Tangan Yuki meraba-raba permukaan aspal. Kasar. Panas. Bukunya tidak ada di sana.

Dia mulai panik, sebab tangan-tangan orang dewasa datang mengangkat tubuhnya dari aspal yang keras. Yuki tidak bisa bangun sendiri. Tidak juga menemukan bukunya. Air matanya pun mengalir. Dia belum bilang hal yang harusnya dia katakan pada Oliver sekarang, sementara dia akan segera pindah meninggalkan kota dan pergi ke tempat yang jauh.

"Maaf ..."

[]

Senin, 19 Juni 2017

Hari ini ada murid baru di kelasku. Namanya Oliver. Penampilannya aneh sekali. Rambutnya pirang (seperti warna kuning, tapi berkilau) dan matanya biru, seperti orang asing (orang yang bukan orang Jepang). Sejak dulu, kupikir orang berambut pirang hanya ada di film. Katanya, Oliver berasal dari Inggris. Aku tidak pernah ke sana, tapi kedengarannya jauh sekali. Sepertinya, lebih jauh dari pada Okinawa (soalnya aku ingat naik pesawat tiga jam saat liburan ke sana). Waktu kutanya di mana rumahnya, Oliver cuma diam. Padahal, aku ingin sekali mengajaknya bicara. Mungkin, aku harus mencoba bicara dengan bahasa Inggris agar dia mengerti.

[]

"Oliver, gumoning! Kursi sebelahmu masih kosong, 'kan? Aku duduk di sini, ya!"

Pagi yang ceria dimulai dengan Yuki menyapa Oliver dengan ceria. Seperti biasa, anak laki-laki itu acuh, hanya melirik sekilas tanpa membalas ucapannya. Sementara itu, Yuki sudah siap menghadap ke teman sebangkunya hari ini setelah meletakkan tasnya, hendak mengajaknya mengobrol panjang lebar.

"Papaku pernah ke Inggris dua kali, ke kota London. Katanya, ada menara jam yang sangat besar di sana. Kamu pernah lihat jam itu, Oliver?"

Sepelan yang dia bisa, Oliver menghela napas. Tidak perlu satu hari baginya untuk mempelajari sifat gadis yang mengajaknya bicara itu; sangat bersikeras. Bukan hanya terlalu memaksa, Yuki juga tidak memberi ruang baginya untuk melakukan urusannya sendiri. Kalau sudah begitu, Oliver acuh saja. Sayangnya, Yuki tidak juga berniat diam jika tidak diberi respons.

"Oh iya, apa kamu juga pernah bertemu keluarga kerajaan? Keren! Putri Jepang saja aku hanya pernah lihat dari televisi," celoteh Yuki melanjutkan percakapan searahnya, kali ini sambil menyiapkan buku pelajaran pertama karena bel masuk akan berbunyi sebentar lagi. Setelah merogoh tempat pensil dan tidak menemukan pensilnya di sana, Yuki menoleh pada Oliver dengan cengiran lebarnya. "Hehe, aku lupa pensilku. Pinjam satu, ya?"

Tentu, ini bukan pertama kalinya.

Masih membisu, Oliver menyerahkan pensil yang sekarang hampir menjadi milik Yuki saking terlalu sering dipinjam. Barulah Yuki menyadari bekas luka di balik ujung lengan baju yang tersibak. Alih-alih menerima pensil, gadis itu menarik pergelangan Oliver, membuatnya seketika mengaduh.

Vocaloid ーoneshoot collectionWhere stories live. Discover now