Achromatic Rhapsody [Nero x Teto]

187 12 11
                                    

"Mulai hari ini dan seterusnya, bisa nggak kamu jangan ganggu aku lagi?"

Teto berkata dengan sebegitu datarnya, menyebabkan lawan bicara diam. Yang barusan itu bukan kata-kata yang menyenangkan untuk didengar maupun dilontarkan, apalagi kepada orang yang tidak pernah berhenti mengekspresikan perasaannya setiap waktu.

Akita Nero, pemuda tinggi yang baru saja menemui gadis bersurai keriting gantung hanya untuk menyerahkan kotak makan siang, hanya bisa mengerjapkan mata mendengar kata-kata dari, yang bisa dibilang, mantan kakak tingkatnya.

"Kenapa, Mbak?" tanyanya, terkesan bersih tanpa dosa.

Teto menghela napas. Ini bukan pertama kalinya dia menegaskan kalimat yang sama pada orang yang sama. Bukan pertama kalinya juga Nero merespons dengan kalimat yang sama. Namun, apa yang membuat pemuda ini sangat batu? Padahal jelas-jelas Teto terganggu, sangat terganggu hanya dengan mengetahui keberadaannya saja.

"Bukannya kamu udah lulus? Kenapa kamu nggak sibuk nyari kerja? Malah main terus ke kampus?" Intonasi Teto menjelma jadi sarkas.

"Pengen ketemu Mbak Teto," jawabnya sambil nyengir. Andaikata yang tengah diajak obrolnya kini seorang gadis kasmaran yang masih labil, dijamin dia bakal meleleh; tapi sayangnya ini Teto. "Saya juga ada urusan sebenernya di sini."

"Ya. Urus aja urusanmu. Habis itu pergi. Atau paling enggak, jangan ganggu aku. Bisa?"

Nero menunduk, bibirnya manyun. Padahal setiap kali dia bilang kalau dia suka pada Teto, itu tidak main-main. Setelah lulus dari tempat kuliahnya itu, dengan meletakkan kotak makan siang di lokernya diam-diam, Nero berharap bisa memberi impresi sekecil apapun pada Teto, karena sekarang mereka tidak akan lagi sering berpapasan. Hasilnya nihil, bahkan Teto mencapnya sebagai pengganggu.

Kali itu, Nero mengangguk. Dia sudah menyangka kalau mendobrak hati Teto yang sedingin es ini tidak akan mudah.

"Tapi, ini tolong diterima," ucap Nero, sekali lagi menyodorkan kotak warna merah, yang diasumsikannya sebagai warna favorit Teto.

Meski bisa dinilai kalau ekspresi Teto sama sekali tidak berterima kasih, menerima pemberiannya saja Nero sudah berteriak 'sama-sama' dari lubuk hati yang paling dalam.

"Sampai nanti ya, Mbak!"

"Ya, selamat tinggal."

Setelah punggung pemuda itu hilang di balik tikungan koridor panjang, Teto merunduk, menatap kotak makan merah di tangannya. Masih hangat.

[]

Teto tidak menyukai Nero bukan tanpa alasan.

Dia adalah Akita. Marga yang disegani seluruh negeri karena perusahaan besar dan harta melimpah ruah. Yang lahir dari orang-orang kelas tinggi, secara fisik dan mental.

Dia muda, tampan, cerdas, diterima lewat jalur undangan, dan lulus dalam waktu tiga tahun sebagai salah satu lulusan terbaik.

Diundang ke berbagai acara. Pernah menggerakkan berbagai kegiatan. Aktif. Menggebu-gebu. Inspirasi semua orang. Dikenal semua orang.

"Iri, ya?" Galaco ikut menghela napas menyadari perbincangan mereka keluar batas dari topik yang seharusnya.

Langit di sana tampak biru, tapi pandangan Teto menekuri dedaunan yang jatuh dan diinjak-injak sepanjang jalan. Sebuah senyum miring tersinggung di bibirnya. "Iri? Hahahaha!"

Siapa yang enggak.

Jawaban itu sudah jelas. Orang yang lahir dengan hak-hak istimewa hanya perlu datang dan pergi dalam waktu singkat, tidak perlu banyak usaha. Sementara Teto di sini, berjuang kembali setelah upayanya untuk masuk universitas unggulan berhasil, dan harus bertahan lima tahun sambil menelan bulat-bulat kenyataan bahwa ia gagal, lalu meyakinkan diri bahwa dia akan berhasil sebelum kewarasannya habis.

Vocaloid ーoneshoot collectionWhere stories live. Discover now