Orange [Mikuo x Kaiko]

374 21 36
                                    

Langit warnanya jingga. Angin laut sore berhembus sepoi, memainkan helai rambut. Deburan ombak membasahi kaki dua siluet insan yang tengah berpegangan tangan menyusuri bibir pantai. Yang pemuda menendang air, membuat cipratan kecil. Yang gadis berlari menghindar, tertawa-tawa. Keduanya adalah sepasang kekasih yang bahagia.

Saat matahari hampir tenggelam, keduanya berdiri bersisian, menatap jauh pada bercak cahaya di ujung barat. Genggaman tangan masih menyatu. Si gadis bicara memecah hening. Suaranya, selayaknya bisikan, menelisik di antara desau angin.

"Hei, Mikuo."

Yang pemuda balas mengeratkan pegangan tangan, menjawab. "Ya?"

"Maafkan aku, ya."

Rasa-rasanya, ini bukan kali pertama diperdengarkan kata maaf secara tiba-tiba tanpa alasan. Tetap saja, kening Mikuo mengernyit tidak mengerti. Selalu, setiap dia meminta penjelasan, gadis di depannya tak berani membalas tatapan manik toska pemuda di sisinya. Alih-alih, dia sandarkan kepala pada bahu Mikuo.

Mulutnya terbuka, dan hanya sebatas lirih yang terdengar. "Karena aku lemah."

Satu tangan Mikuo berpindah pada bahu si gadis, mengusapnya lembut sambil mendekapnya erat. Kepalanya diletakkan menyandar di atas kepala kekasihnya, hingga keduanya saling bertelekan satu sama lain, terhubung dekat.

"Kamu gadis terkuat yang pernah kutemui."

Ada gelak tawa kecil yang lepas. "Bohong."

"Sungguh."

Mikuo ikut tersenyum. Setidaknya, dia berhasil memancing tawa keluar lagi dari bibir ranum seorang gadis berperawakan kurus.

Di hadapan mereka, matahari terlanjur tenggelam. Mengakhiri hari ini; mengikis waktu akan kebersamaan keduanya. Tetap saja, setiap kali bertemu pandang, sepasang manusia itu sama-sama memasang senyum.

Keduanya adalah sepasang kekasih yang pura-pura bahagia.

[]

Gereja yang terletak di pinggir desa laut itu tampak tua dimakan usia. Masyarakat sekitar tidak mau repot-repot mengurusnya. Sudah lama tidak pernah dipakai, terbengkalai begitu saja.

Tempat ini, bagi Mikuo dan Kaiko, adalah tempat bersejarah yang menyimpan banyak kenangan menyenangkan. Dulu, mereka menjadikan gereja tua itu sebagai markas rahasia, tujuan utama setiap pulang sekolah untuk bermain, dari kejar-kejaran hingga petak umpet. Sebuah saksi bisu atas ikatan mereka yang masih tersisa.

Kaiko tersenyum senang menatap ruangan yang masih tak berubah sejak terakhir kali gadis itu kemari. Kursi-kursi panjang yang berbaris rapi. Piano rusak yang tergeletak di pojok. Gadis itu berbalik, menatap Mikuo di belakangnya.

"Kenapa kamu mengajakku kemari?" tanyanya.

Mikuo tersenyum simpul. Pemuda itu menggandeng gadisnya menuju ke depan, berdiri berhadapan di samping mimbar yang rapuh dimakan waktu.

"Kita akan menikah di sini," ucapnya, menatap lurus pada netra biru yang membulat karena terkejut. "Sekarang, dengan Tuhan sebagai saksi. Jadi ..."

Tangan Mikuo merogoh saku, mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Begitu dibuka, Kaiko sontak menutup bibir dengan kedua belah tangan. Di depannya, ia dipersembahkan sepasang cincin.

Sebuah cincin dipakaikan Mikuo di jari manis Kaiko, sebuah lagi di jarinya sendiri. Gadis itu bersemu merah kala pemuda toska mengenggam kedua tangannya, menatap wajahnya lekat-lekat.

Vocaloid ーoneshoot collectionWhere stories live. Discover now