Furthermore [Piko x Miki]

448 39 25
                                    

Waktu itu, Miki tidak akan menyangka bakal menemukan pemuda dengan surai seputih salju itu di depan loker sepatunya, berdiri mematung di bawah cahaya matahari sore yang menerobos dari celah jendela koridor.

Seorang adik kelas. Seorang tetangga. Seorang teman masa kecil. Baginya, begitulah ia mengenal seorang Utatane Piko.

Mereka tidak bisa dibilang tidak dekat. Sejak kecil, bahkan, keduanya menabung sama-sama untuk membeli Nintendo DS demi bermain Pokèmon berdua. Tidak terhitung juga berapa kali Miki menginap di rumah Piko hanya karena dia terkunci di luar rumahnya sendiri karena pulang terlalu larut. Piko sudah seperti seorang adik bagi Miki yang merupakan anak tunggal.

Makanya, gadis itu tidak familier saat berhadapan dengan air muka kemerahan pada wajah putih itu, berikut suasana canggung yang meliputi keduanya.

"Aku suka Miki-san ..."

Ini hal yang sangat baru—Piko menyatakan perasaan suka padanya.

Hanya dengan mengingat kejadian itu saja, tangan Miki yang sudah terkepal urung mengetuk pintu. Harusnya, ini adalah malam yang biasa di mana dia mengganggu Piko dan saudaranya setelah makan malam. Tapi otaknya malah kembali melanjutkan lamunan sepanjang sore, memikirkan kata-katanya, sikapnya, pertemanan mereka selama ini, hingga pikirannya menjelajah terlampau jauh; ke masa-masa saat mereka baru pertama kali saling kenal.

Piko masih enam tahun. Miki baru saja ulang tahun ketujuh tahun. Sepasang anak muda yang saling malu-malu, bersembunyi di balik punggung ibu masing-masing. Kalau bukan karena ibunya waktu itu mendorong punggung kecilnya, Miki tidak akan berani menjuluran tangan dan memperkenalkan diri.

Lagipula, wajar kalau Miki ragu. Anak itu aneh, tidak seperti kebanyakan orang yang dia kenal. Sekujur tubuhnya putih hingga ke setiap helai rambut. Warna matanya tidak wajar, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Impresi pertama Miki, anak itu terlihat seperti karakter yang akan ditemui Alice di Wonderland.

Tetapi Piko anak yang baik. Sangat baik malah. Dia memaafkan Miki sekalipun gadis itu telah membuatnya menangis karena menjambak rambutnya atau menarik-narik sebelah pipi dan kelopak matanya. Miki cuma penasaran setengah mati, tapi setelah diceramahi ibunya berkali-kali, dia akhirnya sadar kalau Piko adalah manusia dan bukan objek penelitian untuknya.

Keduanya tumbuh kian dekat. Mengobrol, bermain, dan pulang bersama Piko sudah menjadi hal sehari-hari, hingga Miki lalai untuk menyadari perubahan sikap Piko akhir-akhir ini.

"Kenapa kamu menghindariku?"

"Tidak."

"Iya. Saat aku merangkulmu, saat kita bertemu di kantin, saat aku melewati kelasmu, saat—"

"Miki-san," potong Piko, kali itu menatapnya lurus-lurus, "kamu benar-benar tidak peka."

Soal membaca pikiran orang lain, atau menangkap situasi dari sekitar, Miki memang payah. Kalau tidak diberitahu secara langsung, dia tidak akan mengerti. Makanya, kata-kata Piko waktu itu hanya dia anggap sebagai angin lalu.

Sekarang, setelah kejadian di depan loker sepatu, semuanya mendadak menjadi jelas.

Kalau boleh jujur, Miki tidak suka rasa canggung itu yang membuat Piko harus menjauh saat ia hendak merangkul bahunya. Miki lebih suka keakraban mereka selama ini, melakukan banyak hal berdua tanpa harus memusingkan perasaan. Yang penting keduanya bersenang-senang, bagi Miki itu sudah cukup.

Dengan kesimpulan itu, Miki pun mengetuk pintu rumah itu. Sebelah sisinya terbuka, menampilkan sosok pemuda albino dengan sepasang mata heterokrom mengenakan kaos yang tampak longgar. Sebuah penampilan biasa di sebuah rumah yang biasa dia kunjungi. Tidak ada hal yang berbeda, kecuali Piko yang tampak kaget dengan semburat merah di wajah—hampir saja menutup pintu kalau Miki tidak menunjukkan Switch di tangan.

"Raid bareng, yuk."

Bagi Miki, ini adalah malam yang biasa seperti malam-malam sebelumnya di mana dia mampir ke rumah Piko hanya untuk bermain games bersama.

Sekalipun perasaan Piko tumbuh menjadi sesuatu yang berbeda, Miki ingin menjaga kedekatan mereka. Dia tidak ingin membebani pemuda itu dengan sekelumit perasaan rumit yang harus dijawab antara iya dan tidak.

Lagipula, Miki menyukai Piko dan waktu yang mereka habiskan bersama.

Fin.

[note]
sebelum revisi ini request pairing dari @jejekeju hahahah jejeeeee apa kabar andaaaa mohon maaf saya seenaknya revisi dan ubah ceritanya ( ; ▽ ; )

previous title:
Night at School [Piko x Miki]

Vocaloid ーoneshoot collectionWhere stories live. Discover now