A Gift Before Christmas

484 33 44
                                    

"Aku tidak suka dokter itu."

Dua kepala lain dalam ruangan itu menoleh pada gadis cilik yang duduk di sofa di pojok ruangan. Tangan gadis itu memeluk boneka beruang erat-erat, tapi menatapnya sebal, melimpahkan marah pada mainan kesayangan.

"Jangan bicara begitu, Meiko-chan. Dokter itu selama ini sudah membantu Mama."

Papa bicara dengan suaranya yang lembut, tapi raut Meiko tidak berubah lebih lunak. Justru sepasang alisnya menukik lebih tajam. Ekspresi ini biasanya hanya dia tunjukkan kalau tidak diperbolehkan hujan-hujanan di luar, atau waktu dilarang makan es krim saat flu. Dia tampak lucu menunjukkan kekesalannya dengan tubuhnya yang mungil, memancing senyum papa dan mama di sisi ruangan yang lain.

"Lagipula, kamu baru saja menghabiskan permen yang diberikan Dokter Maika, kan?"

Dokter yang dimaksud adalah dokter yang selalu datang ke ruangan putih tempat mama dirawat pada jadwal pengecekan. Dia memakai jas putih dengan kantong berisi banyak manisan. Setiap bertemu Meiko, dokter itu akan merogoh kantongnya dan memberikannya sebungkus gula-gula.

Kalau saja waktu itu dia tidak lancang berbicara kalau umur mama sudah tidak lama lagi, Meiko mungkin akan masih menyukainya.

Makanya, sekarang, setiap pukul sembilan pagi dan empat sore, ketika dokter itu mendatangi kamar mama, Meiko selalu menyelinap keluar. Beralasan ingin melihat air mancur di tengah halaman belakang rumah sakit, sesungguhnya Meiko hanya tidak mau berpapasan dengan dokter menyebalkan itu lagi.

Namun, sore itu, Meiko terlambat sekian menit. Begitu menutup pintu dan berbalik, dia mendapati wanita berjas putih tersenyum padanya.

"Mau pergi ke mana?"

Maika hanya berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan lawan bicaranya, tapi di mata Meiko, dia seperti sedang menjebaknya agar tidak bisa kabur.

"Bukan urusanmu," balas Meiko ketus, wajahnya bersembunyi di balik boneka beruang.

Seperti biasa, dokter itu masih saja tersenyum ramah. Tangannya merogoh saku jas putihnya, mengeluarkan sebungkus permen, lalu menyodorkannya kepada boneka beruang di depannya. "Mau?"

Telapak tangan Meiko nyaris saja terangkat, kalau saja dia tidak segera ingat bahwa dia harusnya tidak menyukai Dokter Maika, berikut segala manisan yang dibawa dalam kantungnya. Maka, ditariknya tangan yang hendak terulur, mendengus sebal, lalu berlari ke ujung koridor yang lain.

Di belakangnya, Maika hanya mengikuti gadis kecil itu dengan tatapannya dari ekor mata, terkekeh pelan.

[]

Meiko tidak pernah suka rumah sakit.

Gedung besar yang tampak suram. Pemandangan abu-abu yang membosankan. Aturan tidak boleh ada suara berisik. Fakta bahwa bangunan itu adalah tempat berkumpulnya orang-orang sakit. Fakta bahwa mamanya adalah salah satu dari sekian orang-orang sakit.

"Kamu mau menghias jendelanya, Meiko-chan?" Papa menjulurkan hiasan gantung berbentuk lonceng di tangan, tapi tidak mendapat respons.

Selain kekesalannya kepada dokter yang diutarakannya tempo hari, kenyataan bahwa tahun ini mereka merayakan Natal di sebuah tempat asing yang jauh dari rumah cukup untuk membuat Meiko murung seharian.

Padahal tahun-tahun sebelumnya, Natal terasa meriah dengan banyak lampu-lampu gantung di dinding rumah, kue cokelat hangat yang baru diangkat dari oven, dan acara televisi akhir tahun yang tayang hingga tengah malam. Tahun ini, keluarga kecil itu tidak punya sekadar pohon Natal yang menghiasi ruang tengah di rumah mereka.

Vocaloid ーoneshoot collectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang