Things About Us [Kaito x Meiko]

210 14 2
                                    

Seumur-umur, Meiko tidak pernah segelisah ini dalam hidupnya. Berkali-kali dia melihat ke ponsel, menunggu sesuatu. Entah kabar, detik waktu, apapun.

Berjalan mondar-mandir di depan TV yang bahkan suaranya tidak dia hiraukan. Kakinya menghentak-hentak lantai. Jemari digigit. Tapi, berapa kali pun dipandanginya hujan yang makin menderas di luar sana, cemas yang dirasakan tak kunjung hilang.

Meiko melihat ke ponsel lagi. Mengangguk mantapーkeputusannya akhirnya bulat.

"Aku harus menyusul."

Diraihnya jaket dan payung besar. Dia membungkuk di depan pintu sambil memakai sepatu but. Tapi, ketika hendak meraih kenop, pintu terbuka dengan sendirinya.

Menampakkan malam yang gelap dan dingin, dengan jarum-jarum air menghujam dari langit dan gelegar petir menyambar. Persis di hadapan Meiko, seorang pemuda yang lebih tinggi darinya berdiri termangu. Kepalanya menunduk tanpa ekspresi, tidak peduli fakta bahwa sekujur badannya basah kuyup.

Namun kehadirannya itu, yang janggal dan tidak disangka-sangka, sudah cukup mengubah tegang yang membuat perut Meiko sakit berganti hangat yang berdesir.

Gadis itu reflek menjatuhkan payung, memeluk pemuda itu sembari mengusap-usap punggungnya; Kaito.

"Cepat masuk," ujarnya, lalu menutup pintu rumah.

Meiko segera melepas jaket dan berlari kecil ke dapur, hendak menaruh mangkuk sup miso hangat dan nasi di meja makan yang sudah dia siapkan sejak tadi.

"Segera ganti baju yang kering, ya, yang basah taruh saja di ember. Kalau sudah, kita makan bersama!" serunya, diikuti jawaban kasual 'yaaaa' dengan vokal a dipanjangkan.

Pemuda itu, tak lama kemudian muncul lagi, dengan penampilan jauh lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya dihiasi senyum dan rambut biru lautnya tidak sebasah kuyup dan seberantakan saat dia pulang.

"Kakek mana?" tanyanya, duduk di meja depan TV, menghangatkan kakinya di kotak pemanas. Rumahnya memang masih tradisional, nyaris tidak ada yang diubah sejak kakeknya lahir dan besar di sana.

"Menginap di rumah nelayan, pulang besok pagi, katanya."

"Oh, begitu, ya."

"Iya."

Suara TV memenuhi ruangan. Meiko menunggu dalam hati waktu yang tepat untuk bertanya, tidak mau dianggap terlalu cepat atau terlalu lama.

Semakin dipikir, semakin jarinya mengetuk mangkuk sup yang dia cengkeram---dan Meiko selalu lengah dengan fakta bahwa pemuda di depannya itu sangat mengenalnya. Toh, sudah nyaris lima tahun mereka berbagi tempat tinggal.

"Ada apa?"

"Nggak, akuー" Sial, terlalu cepat, Meiko membatin. Jelas dia terdengar gugup saat ini.

"Tidak perlu khawatir kok, supnya tidak keasinan seperti biasanya."

"Heh!"

Kaito tertawa dan sesuatu dalam hatinya seolah digelitik saat mendengarnya. Hal itu selalu membuat Meiko makin sadar, kalau rupanya dia masih memandang pemuda itu dengan cara yang berbeda. Selalu saja seperti ini selama lima tahun terakhir.

"Aku bertanya, bagaimana tadi? Sudah kamu nyatakan padanya?"

"Ah, itu." Kaito tersenyum setelah menyeruput supnya kembali. "Gagal."

Mendadak makanan di mulutnya terasa hambar demi mendengar Kaito yang mengucapkan kata itu seolah bukan hal yang penting baginya. Rasanya ada bongkahan batu diletakkan di tenggorokannya dan Meiko kesulitan bicara.

Kaito patah hatiーkepada gadis lain. Tingkah 'baik-baik saja'-nya justru membuat Meiko tidak bisa tenang.

Meiko menaruh sumpit. "Maaf."

"Untuk apa?"

Tidak sempat melihat ke arah lelaki itu lagi, gadis itu menutupi wajah dengan kedua tangan, seolah degan begitu dia dapat menyembunyikan rasa bersalahnya. "Pokoknya, maaf."

"Mei-chan tidak salah apa-apa kok."

Gadis itu menghela napas. "Bukan. Kamu tidak mengerti."

Pembicaraan ini merujuk pada gadis yang dikenalkan Meiko pada Kaito beberapa waktu yang lalu. Dengan begitu, Meiko pikir, semua akan baik-baik saja. Kaito akan menjalin ikatan dengan seorang gadis dan mereka akan tetap berbahagia sebagai keluarga bersama-sama.

Meiko tidak tahu jika melihatnya dengan gadis lain akan terasa menyakitkan. Tanpa sadar, dia selalu berharap takdir memisahkan keduanya.

"... Lain kali aku akan mencoba untuk tidak mengganggumu."

"Maksudmu?"

Meiko tiba-tiba mendongak dan mulai menata mangkuk-mangkuk dan gelas di atas meja. "Sudah selesai? Bawa itu kemari."

"Eh? Iya."

Buru-buru gadis itu berlalu ke dapur untuk mencuci segala peralatan bekas makan mereka.

Meiko tenggelam dalam suara keran air dan busa-busa. Dia menggosok piring dengan gesit dan kasar, meluapkan emosinya pada gerakan tangan. Aku yang terburuk, umpatnya pada diri sendiri.

Gadis itu paham betul bagaimana posisinya dalam hidup Kaito. Mereka tak lebih hanya teman sekelas yang awalnya tidak saling kenal. Di usianya yang masih muda, Meiko harus kehilangan banyak hal; keluarga, teman, orang kepercayaan, bahkan tempat tinggal. Tidak ada yang mengulurkan tangan padanya, tidak satu pun. Tapi, Kaito datang dan mengajaknya tinggal di rumah kakeknya.

Meiko menumpang hidup lima tahun. Waktu yang sama yang diperlukannya untuk sadar bahwa hal-hal yang telah dilaluinya bersama Kaito sangat berharga baginya.

Gadis itu meneteskan air mata.

"Sialan ..." ucapnya, dengan kacau mengusap mata dengan lengan baju. Meiko jarang menangis. Orang-orang di sekitarnya selalu yakin bahwa dia adalah gadis yang kuat, dan Meiko berusaha menjadi seperti itu.

Di tengah keterguncangannya, sepasang tangan mendekapnya dari belakang. "Kenapa menangis?"

Ini Kaito. Aromanya yang sedekat ini jarang gadis itu rasakan, apalagi suaranya yang terdengar dekat sekali di telinga.

"Enggak ... mataku kemasukan busa sabun," suara Meiko terdengar parau, berusaha bicara meski isaknya makin menjadi-jadi.

Kaito mendengus geli, lalu membenamkan muka di bahu Meiko. "Kamu selalu payah kalau soal berbohong, Mei-chan."

Ada yang aneh dengan sikap pemuda itu. Meski bagi Meiko, rasanya seperti mimpi ketika dia didekap seperti ini; tanpa tahu ekspresi seperti apa yang pemuda itu buat di belakangnya.

"Sshh ... tidak apa-apa, tidak apa-apa."

Bahkan tangan lebar itu menepuk-nepuk kepalanya lembut, mencoba menenangkan.

Namun tetap saja, Kaito tidak akan pernah tahu.

"Kalau ada hal yang dipendam, katakan saja. Aku akan berusaha ada buatmu."

Tentang perasaannya, tentang pemuda biru laut yang selalu tampak bersinar di matanya.

"Karena bagaimana pun, kamu keluargaku juga, Mei-chan."

Fin.

Vocaloid ーoneshoot collectionWhere stories live. Discover now