Part 11 : Tidak Terduga

4.9K 83 3
                                    

Sinar matahari merambat perlahan, menembus kaca jendela yang terpasang. Salah satu sinar jatuh tepat mengenai wajah Lily, memberikan implus yang membuat Lily terjaga.

Kelopak mata Lily yang tertutup perlahan bergerak-gerak. Gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali sebelum sadar sepenuhnya. Ia menoleh ke samping dan mendapati Merlin yang tengah tertidur sambil memeluk dirinya.

Lily mencoba menyingkirkan tangan Merlin dari tubuhnya dengan hati-hati agar pria itu tidak terbangun. Lily tak ingin membangunkan Merlin yang sedang tidur pulas. Tapi tunggu, mengapa sulit sekali menyingkirkan tangan Merlin? Berat tangan pria itu seperti berton-ton. Sedikitpun tidak dapat digerakkan.

Pandangan mata mereka bertemu, kilatan jahil mata Merlin menjelaskan segalanya. Lily menggerutu dan menggumamkan kata-kata tidak jelas.

Suara tawa bahagia memenuhi kamar tersebut. Merlin menangkap pergelangan tangan Lily dan kembali memulai aktivitas menggairahkan yang sangat ia sukai.

Selama seminggu tak satupun dari mereka keluar kamar, pintu terbuka sesekali untuk mengambil makanan yang tersedia tepat waktu.

"Mmmmmm ... hentikan Merlin, aku harus memasak," keluh Lily, bibir Merlin menjelajahi lehernya tanpa malu.

Napas Merlin menggelitik. "Lanjutkan saja, abaikan aku."

"Kau tahu tidak bisa," rajuk Lily.

"Jika aku membiarkanmu membiarkanmu memasak, apa yang yang kau tawarkan sebagai kompensasinya?"

Lily berjinjit, kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Merlin. Merlin tersenyum berseri-seri, ia melepaskan tangannya dari tubuh Lily dan duduk manis di kursi ruang makan. Menunggu dengan patuh hingga istrinya selesai memasak.

---**---

Sarah mengumpulkan segenap keberanian yang ia punya untuk menyelesaikan masalah yang ia buat. Ia tampak gelisah dan ketakutan tapi tekadnya yang sekeras baja menjaganya untuk tetap berdiri tegak.

Sarah telah menekan bel, bunyi bel yang berdering setiap detiknya seolah menjadi hitungan mundur menuju kematiannya. Pintu kokoh di hadapan Sarah terbuka, tampak sosok seorang pria dengan rambut pirang madu. Pria itu tampak berantakan, rambutnya mencuat dengan liar, lingkaran hitam terlihat jelas di kelopak bawah mata, dan cahaya tak mengisi bola mata berwarna batu gioknya.

"Kau ...." desisnya.

Sarah menelan ludah dengan susah payah, tekadnya yang sudah bulat tiba-tiba menciut. "Ada yang harus kubicarakan denganmu. Bisakah kita membicarakannya di dalam?"

William memutar bola matanya, hening sejenak. "Masuklah."

Sarah mengikuti langkah William, jantungnya berdetak dengan cepat. Telapak tangannya terasa membeku. Sesekali keringat dingin meluncur dari dahinya yang putih.

"Apa yang ingin kau bicarakan? Salam perpisahan sebelum pergi?" tanya William dengan nada mengejek yang tidak disembunyikan.

Sarah tahu William pasti sangat membencinya kini. Ia mengepalkan tangannya yang berada di atas pahanya. Mengangkat wajah dan menatap lurus ke arah William.

"Aku ... aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Menipumu yang telah banyak membantu kami, tapi percayalah aku tak pernah berniat mempermainkanmu."

William tertawa sumbang, bahunya yang lebar bergoyang-goyang. "Hah? Bisa kau ulangi?"

"Aku ...."

Pieces of Heart [COMPLETED]Where stories live. Discover now