Part 21 : Perangkap

1.7K 72 0
                                    

"Benar tidak apa-apa aku meninggalkanmu sendirian?" Ryu membelai kepala Freya. Sinar mukanya meredup, memikirkan istrinya yang tiba-tiba jatuh sakit. Sialnya ia harus meninggalkan Freya sementara waktu.

"Tidak apa-apa, Ryu," ucap Freya untuk kesekian kalinya. "Hanya sedikit lemas dan pusing. Saat kau tiba aku pasti sudah sehat kembali."

"Yakin tidak mau ke rumah sakit?"

Mata Freya membelalak. Gagasan pergi ke rumah sakit membuat bulu kuduknya berdiri. "Tidak." Air mukanya memucat. "Aku tidak suka rumah sakit."

Ryu menarik napas panjang. Ia hanya menginginkan istrinya cepat sembuh. Namun apa mau dikata, istrinya mempunyai fobia terhadap rumah sakit.

"Baiklah, tidak ada rumah sakit, tidak ada dokter. Kau hanya akan berbaring di kamar ini sepanjang hari dengan pintu terkunci. Aku sudah menyiapkan makanan hangat yang selalu siap untuk kau santap di sebelah sana."

Freya tersenyum. "Terima kasih, Ryu."

"Tunggu aku, OK?" Ryu mengecup kening Freya, turun ke pipi, kemudian hidung, dan berakhir melumat bibir istrinya dengan lapar. Oh. Seandainya ia bisa terus bersama Freya.

"Bam sudah menunggumu Ryu, kasihan dia." Freya memegang wajah Ryu, dengan deru napas yang memburu karena ciuman tadi.

"Aku segera kembali," Ryu mengecup Freya sebelum pergi dan menghilang seutuhnya dari kamar mereka. Freya mengantarkan suaminya dengan senyum hingga ia tidak terlihat lagi.

Pintu tertutup, terdengar bunyi klik. Freya tahu pintu sudah terkunci. Lama ia tunggu hingga keadaan benar-benar tenang.

Dan waktunya telah tiba.

Freya segera bangkit dari ranjangnya. Berjalan dengan hati-hati menuju lemari, membuka pintunya dan mengambil koper kecil yang ia siapkan untuk menjadi helper dulu.

Ia tidak menyangka akan menggunakan ini lagi. Tidak. Ia tahu suatu saat nanti pasti ia akan menggunakannya. Freya membuka koper tersebut dan segera mengganti pakaiannya dengan pakaian yang ada di sana.

Untuk sentuhan terakhir ia menguncir rambut merah jahenya dengan gaya kucir kuda. Kemudian, ia menatap wanita yang terus menatapnya di cermin. Wanita itu mengikuti setiap gerakan Freya, matanya menatap lurus seolah memperingatkan akibat dari keputusan yang ia buat. Wanita itu tak lain adalah refleksi dirinya.

"Kau bisa," gumam Freya. Ia berbalik, membuka kaca jendela kamarnya dan segera menyusup keluar dari rumahnya.

---**---

Rasa mual semakin menjangkiti dirinya dengan buas. Freya bersusah payah menjaga isi perutnya yang teraduk-aduk setiap ia mengambil langkah untuk memasuki rumah sakit.

Fobianya terhadap rumah sakit tidak juga berubah. Ia membenci rumah sakit sejak kematian bibinya, Sarah. Dan hingga kini ia tetap membenci rumah sakit. Bau-bau obat yang bebas bertebaran. Peralatan medis yang selalu sukses membuatnya bergidik.

Sialan, umpat Freya dalam hati.

Buru-buru ia memasuki toilet terdekat, memuntahkan isi perutnya yang sudah tidak mampu ia tahan. Namun, hanya cairan yang keluar.

Kepalanya terasa berputar, mungkin sebaiknya ia memang pergi ke dokter. Ia tidak mengira sakit ini terus berkelanjutan. Freya hanya membiarkan penyakit ini untuk mengelabui Ryu agar kembali ke rumah. Siapa sangka penyakit ini malah benar-benar memburuk. Apakah ia mendapat karma karena membohongi suaminya?

Pieces of Heart [COMPLETED]Where stories live. Discover now