Part 23 : Seharusnya Kupatahkan Kakimu

1.3K 70 0
                                    

Happy Reading xD
Disini setia kutunggu tanggapan kalian untuk cerita ini :D

Sincerely,

Nina

---**---

Udara lembab hujan bercampur dengan aroma malam dan polusi. Perpaduan antara sejuk dan pengap menjadi menyesakkan. Kota terlihat mati. Orang-orang sejak tadi sudah mencari tempat berlindung yang aman, menyisakan mesin-mesin yang memenuhi jalan.

Tapi di samping jalan raya, berjalan seorang wanita muda, pandangnya kosong, dengan langkahnya yang terseok-seok disusurinya tapak demi tapak. Dari seberang kaca, terlihat jelas wajah-wajah penasaran. Mereka bertanya-tanya apa yang dilakukan wanita muda itu di tengah badai yang mengamuk tanpa perlindungan, sementara yang lain sudah menemukan tempat untuk berteduh dan menghangatkan diri.

Demi memuaskan hasrat penasaran mereka, ada yang berani menyorotkan sinar dari mobilnya dan dengan sengaja mengarahkannya ke arah wanita muda itu. Ketika wajah sedih wanita itu terlihat, bukan simpati ataupun empati yang didapatnya, namun tawa mengejek dan kata-kata cemoohan yang menguap di udara, samar-samar terbawa oleh angin hujan dan sampai di telinga wanita muda tersebut.

Tapi ia tidak peduli. Sesuatu yang lebih menyakitkan tengah menjalar dalam tubuhnya. Menginvasi dirinya dan bersiap mencabut ruhnya dengan menyisakan penyesalan seumur hidup untuknya.

Ketika tawa-tawa sinis itu tidak terdengar lagi dalam deru hujan, dan angin tidak bertiup lagi seolah takut akan sesuatu, dalam kegelapan bisu yang bermandikan cahaya remang-remang sepasang masa biru berkilat-kilat bak auman petir yang murka sedang menatap wanita muda itu dengan nanar.

Sang pemilik mata biru itu terlihat seperti hewan buas berbahaya yang seharusnya tak dibiarkan lepas begitu saja, aura dominannya membungkam orang-orang usil yang penasaran akan wanita muda tadi.

Wanita muda itu berhenti dengan napas tercekat. Hujan tak mampu menyamarkan air mata yang mengalir dari mata ungunya yang sembab. Dalam kebisuan yang menyesakkan tak ada seorangpun berinisiatif maju.

Lelah menunggu dan hampir kehilangan kewarasannya yang tinggal sedikit, pemilik mata biru itu berjalan dengan langkah besarnya yang gusar. Terdengar gertakkan gigi dan umpatan samar. Ketika jarak di antara mereka hanya dipisahkan oleh hembusan napas sang wanita tetap tak bergeming.

Direngkuhnya dengan lembut sang wanita, menuju dekapan hangat yang dipenuhi aroma maskulin sang pria yang selalu memabukkan. Lagi, terdengar geraman dan gertakkan gigi yang semakin jelas.

"Aku harusnya mematahkan kaki cantikmu agar kau tidak bisa pergi meninggalkanku begitu saja," mata birunya menatap dalam sang wanita yang tak lain adalah istrinya, mata itu menggambarkan kesedihan dan kemarahan yang berkecamuk dalam diri sang pria.

Namun sang istri tetap bungkam, tak bergeming, dengan tatapan bak ikan yang mati dengan putus asa. Pria itu gatal ingin mengguncang-guncang istrinya dan mengajukan berbagai pertanyaan yang tentunya harus dijawab dengan memuaskan.

"Ryu ...." suara sang istri hampir tidak terdengar karena guyuran hujan.

"Apa?"

Air mata kembali berlinang, menggenangi mata indah yang mempesona itu. Ryu merasakan sakit yang mendalam tatkala melihat ekspresi istrinya yang hancur dan terlihat sangat putus asa itu. "Ada apa Freya? Katakan padaku apa yang terjadi padamu! Tahukah kau betapa frustasinya aku mencarimu?"

Freya kembali membisu, bibirnya hanya mengeluarkan isakan pilu yang menyayat bagai sembilu.

Demi Tuhan, Freya tahu ia sangat berdosa dan tidak termaafkan, tapi hal tersebut tidak mencegahnya untuk bermimpi bersama kekasih hatinya. Ryu. Pria yang terlihat berantakan dan hancur itu, namun binar cinta dalam mata birunya tidak pernah redup.

Tangan-tangan ramping Freya terulur untuk menyentuh wajah tampan memesona Ryu, ujung jarinya yang membeku menyentuh kaku. Dengan kekuatan yang tersisa, ia berkata, "Selamatkan kami, Ryu ...."

Dan kegelapan pekat kembali menelannya.

Tiga jam sebelum suntikannya bekerja.

---**---

Suara bedebum tembok retak membuat seisi ruangan membisu. Para dokter dan suster dibuat kalang kabut, dosa apa yang pernah mereka perbuat hingga harus terlibat dengan pewaris Isaiah yang emosional ini.

"Siapa yang menyuruh kalian berhenti mengobati istriku?" hardik Ryu murka.

Para dokter yang perawat yang tadi membeku karena ketakutan mulai bergerak kembali, memaksakan tangan mereka untuk bergerak dengan hati-hati untuk merawat Freya sambil merasakan ketakutan nyata.

"Tuan, Anda harus diobati," bujuk salah satu dokter yang melihat tangan Ryu mulai meneteskan darah segar karena memukul tembok hingga retak.

"Tidak perlu, prioritas kalian semua saat ini adalah istriku," balas Ryu dengan dingin.

"Baiklah jika itu yang Anda inginkan," ujar sang dokter mengalah.

Bam yang melihat dilema petugas medis itu memutuskan untuk membuat Ryu tenang apapun caranya. Ia menepuk pundak Ryu. "Tenanglah. Jangan biarkan emosi menguasaimu. Kau tentu lebih paham mengenai itu daripada aku."

Ryu menghela napas panjang, dan berdecak kesal. "Ya," aku Ryu. Tatapan Ryu kini sedikit lebih bersahabat daripada sebelumnya, walaupun masih terlihat mengintimidasi. "Jadi, apa yang terjadi pada istriku?"

Sang dokter menelan ludah, gugup. Dalam hati tak henti-hentinya ia panjatkan doa agar Tuhan melindunginya dari murka Ryu. "Istri Anda ... keadaannya sangat kritis, entah mengapa setiap detik sel-selnya mati secara bertahap, dan saya khawatir hal itu membahayakan janin yang sedang dikandungnya."

Secercah binar muncul dalam manik biru laut itu. "Istriku ... hamil?" nada suaranya begitu dingin hingga menusuk ke sumsum tulang belakang. Siapapun yang mendengarnya secara bersamaan bergidik ngeri.

"Iya, Tuan," jawab sang dokter dengan sisa nyali yang hampir habis. Saat ini ia lebih suka mati daripada menghadapi pria yang menjulang tinggi di hadapannya.

"Hahahahaha," air mata jatuh dari sudut mata Ryu akibat tawanya, ia meraih rambut hitam malamnya yang basah oleh hujan, tampaknya tinggal menunggu dalam hitungan detik untuk melihatnya sinting sungguhan. "Jadi itu maksud kata-katanya tadi ... kami yang berarti dirinya dan janin kecilnya ... Freya, kau sungguh luar biasa."

Ryu berjalan melewati dokter tadi dan menuju ke arah ranjang tempat Freya sedang ditangani. Ia berdiri di samping ranjang, tangannya terulur untuk menyentuh pipi pucat Freya. Dengan kelembutan yang mengejutkan diusapnya pipi Freya. "Kau jahat sekali Freyaku, meninggalkanku, membuatku kebingungan, dan lalu kau muncul dalam keadaan sekarat dengan janin kecil hasil buah cinta kita. Tidakkah kau mengerti bahwa mematahkan kakimu saja tidak cukup untuk menghukummu?"

Para perawat ketakutan mendengar penuturan Ryu, tapi mereka lebih takut lagi jika amarah itu tertuju pada mereka. Dengan gemetaran tangan-tangan mereka terus bergerak untuk menangani Freya yang tak sadarkan diri.

"Bam," panggil Ryu, tatapan matanya tak lepas dari Freya.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Bam sambil mendekat.

"Hubungi ibuku, atau ayahku, jika mereka tidak menjawab kau bisa menghubungi siapapun yang bisa membantu, meskipun itu berarti kau harus menghubungi kakek dan nenekku."

Bam membungkuk pelan, kemudian berjalan ke luar ruang perawatan untuk melaksanakan perintah Ryu. Sepertinya Ryu sudah sangat putus asa, karena menghubungi kakek dan neneknya berarti kedua orang tuanya harus menerima konsekuensi besar sebagai akibatnya.

Bam tahu seberapa besar Ryu menyayangi kedua orang tuanya, tapi cintanya terhadap Freya ternyata sudah melewati ambang batas kewajaran hingga membuat Ryu tidak memerdulikan apapun lagi.

Semoga Isaac atau Hotaru menjawabnya. Bam sudah tidak sanggup lagi menahan Ryu sendirian.

"Iya Bam? Ada apa?" jawab Hotaru dari seberang telepon.

"Ibu, Ryu sudah sinting."

Dua jam lagi sebelum suntikannya bekerja.

---**---

To Be Continued

Pieces of Heart [COMPLETED]Where stories live. Discover now