09| Egois

9.2K 1.7K 344
                                    

Yuchae tidak lantas pulang setelah meninggalkan agensi kakaknya.

Ia berniat berkenalan ulang dengan negara kelahirannya. Tidak ada salahnya mengulangi momen-momen yang pernah dia lakukan selama menetap di sini.

Sejauh mata memandang Jepang tak jauh berbeda dengan Korea Selatan. Meski segalanya sedikit banyak berubah dari yang terakhir ia ingat. Keriaan memenuhi jalanan dan mulai dibanjiri pendatang berwajah asing. Toko-toko berjajar, seakan ikut memadati suasana kota.

Meskipun belum memiliki tujuan pasti, gadis itu tetap berbelok menuju kereta bawah tanah Seoul yang berada di tengah pusat kota. Semua hal ini seakan membongkar masa lalunya, pada masa-masa sebelum ia pergi meninggalkan negeri ginseng ini, pada masa di mana ia merasa muak dengan kondisinya saat itu.

Kaki-kakinya melangkah ringan menuruni tangga menurun. Tangga ini tidak berbentuk eskalator. Hanya tangga biasa. Mungkin pemerintah ingin warganya hidup sehat sejahtera dan tidak bermalas-malasan.

Yuchae berjalan santai dan bersiul untuk menghibur diri. Orang-orang di sekitarnya nampak sibuk; berjalan tergesa-gesa dan tak begitu peduli bila sesekali bagian tubuh mereka membentur kumpulan manusia atau sesuatu.

Sejenak, diamatinya salah satu dari sekian banyak papan jalur kereta yang tergantung di langit-langit subway.

Sekarang ia tahu ke mana destinasinya. Mendadak ia memiliki rencana mengunjungi restoran yang dulu sering mereka (Jihun dan dirinya) kunjungi semasa sekolah.

Setelah cukup yakin, ia memasuki kereta jalur lima, dan harus melakukan transit saat di Jongno sam-ga nanti.

Ketika ingin berpindah mememasuki kereta tujuan Anguk, seorang gadis bertopi dengan rambut hitam teriap menubruk sisi kiri bahunya. Lumayan keras hingga menyebabkan ia terdorong mundur beberapa langkah.

Entah mati rasa atau bagaimana gadis itu terus berlari tanpa mengatakan maaf sekali pun.

Pandangan Yuchae mengikuti kepergian gadis itu, lalu berdecak. "Dasar tidak tahu sopan santun."

***

"Pokoknya apa pun yang kulakukan nanti, jangan beritahu pada ibu." Haze menyerahkan payung kepada Namjun.

Sore ini Namjun meminta dibawakan payung setelah mendengar ramalan cuaca yang mengabari kemungkinan turun hujan malam nanti. Akhir-akhir ini curah hujan sulit diperkirakan. Namjun tidak harus selalu membawa mobil. Kadang-kadang ia lebih senang berjalan kaki atau naik kendaraan umum.

Kembali ke masalah payung, menurut Haze lebih baik mengantar payung pesanan kakaknya ke stasiun Jongno sam-ga daripada harus mengantar payungnya ke tempat kerja Namjun.

"Memangnya kau mau pergi ke mana?" tanya Namjun, mengingat tidak biasanya Haze bangun lebih awal dan tanpa protes mengantar payungnya.

Haze membetulkan topinya sebelum mengambil langkah mundur keluar dari kereta. Gadis itu berdiri di peron masih menghadap Namjun sambil memegangi tali tasnya. "Cuma menghadiri perayaan kampus, kok. Dan, ada temanku yang mengajak duel game."

"Jangan pulang terlalu larut dan jangan mabuk. Hati-hati dengan para pria."

"Umurku ini sudah dua puluh satu tahun, Oppa," bantah Haze bersama desisan pendek. Acap kali kekhawatiran kakaknya lah yang membuatnya tak nyaman. Bahkan ibunya tidak begitu peduli selain mengurusi pacar-pacar barunya.

"Aku tidak tahu tentang keputusan memberimu ijin," sahut Namjun, "tetapi kau bisa menghubungi kalau ada sesuatu yang terjadi."

"Oh, please, dude. Please," sergah Haze menirukan cara bicara gadis high class dalam film-film barat. "Semua akan baik-baik saja."

SelfishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang