11| Strategi

8.8K 1.8K 402
                                    

Diam.

Yuchae tak banyak bicara selama makan malam.

Malam ini kakak perempuannya pulang. Ibunya memasak banyak makanan, sebagiannya memesan dari restoran mewah.

Kemungkinan, bagi Yuchae, ibunya terlanjur menganggap Aru dan Jungkook berbeda. Ibunya menilai kualitas makanan untuk para bintang haruslah punya nilai gizi.

Yuchae tak cukup peduli dengan itu. Ia menarik napas, menghela lagi, dan begitu seterusnya.

Tangannya masih menyabuni piring-piring kotor. Sementara Aru merapikan meja makan.

"Nanti tangan eonni kotor," kata Yuchae pelan. "Melakukan pekerjaan rumah bisa membuat tangan mahalmu kasar."

Aru tertawa tipis. "Memangnya kau pikir aku ini siapa? Apa kau juga menganggapku orang lain?"

Yuchae menelan ludah, meski begitu ia tidak menjawab.

Mereka terdiam cukup lama.

"Semenjak debutku...," Aru mengawali dengan nada setengah melamun, "aku kehilangan banyak momen berharga denganmu, kan?"

Yuchae diam saja. Kehilangan selera bicara. Perkara ibunya yang mendesak agar ia cepat-cepat menerima Namjun masih berputar di kepalanya.

"Satu bulan, satu tahun, sepuluh tahun," Aru melanjutkan ucapannya, "itu bahkan tidak cukup bagiku mengenal kedua adikku." Terselip penyesalan dalam tutur katanya.

Selanjutnya wanita itu datang mendekati Yuchae dan membantu membilas alat makan. "Waktu berlalu begitu cepat. Dulu, kau dan Jungkook masih hobi bertengkar. Saat usiamu empat tahun aku baru saja naik di kelas enam SD. Kau selalu mengikutiku dan melaporkan semua perbuatan Jungkook."

Wanita itu tersenyum, mengambil alih mangkuk di tangan Yuchae. "Kurasa saat itu pola pikirku berkembang lebih cepat dari usiaku. Tidak jarang aku menyalahkan diri sendiri: andai aku tidak jadi kakak, andai aku tidak pernah menginginkan adik, andai aku tidak memiliki kalian berdua mungkin aku bisa hidup lebih tenang dan meraih mimpiku lebih bebas. Tapi ternyata tidak. Hal yang paling aku syukuri sampai detik ini bahwa aku memiliki orang-orang berharga dalam hidupku, kedua adikku."

"Dan yang ingin kusampaikan adalah, kau tidak pernah kehilangan siapa dirimu. Takdir tidak pernah merubah sifatmu. Jika kau punya keinginan, maka yang perlu kaulakukan hanyalah berusaha. Tidak peduli seberapa banyak faktor yang akan menghalau." Aru meleparkan senyum setulus mungkin. "Aku tidak ingin menjadi orang asing bagi kalian, terutama Hong Yuchae. Aku tidak tahu lebih banyak bagaimana perasaanmu, juga mimpimu. Itu sudah membuatku sangat amat menyesal. Maafkan, Eonni."

Yuchae masih tetap bergeming.

Keheningan membungkus situasi mereka.

Lalu, detik berikutnya Aru menoleh sebentar. "Pasti kau sangat kesal karena ayah dan ibu berusaha menjodohkanmu, kan?"

"Eoh. Ahjussi itu juga menyebalkan karena terus bersikap baik di depan keluarga kita."

"Ahjussi?" Kedua alis Aru bertaut.

"Kim Namjun ahjussi."

Gelak tawa Aru langsung memenuhi suasana dapur. "Jadi kau memanggilnya begitu?" Matanya melebar tidak percaya. "Aigoo. Apa adikku ini akan menikahi seorang ahjussi, hm? Malang sekali."

"Memangnya Eonni sendiri belum pernah bertemu dengannya?"

Kembali Aru tertawa seraya mengangguk. "Pernah sekali. Tidak terlalu serius. Makan malam. Setelah itu kami tidak banyak bicara."

SelfishWhere stories live. Discover now