29| Bunga

2.6K 627 77
                                    

"Kau sudah menghubungi Yoon Jihun?"

"Belum." Yuchae mengakui.

Mereka memasuki toko bunga di kawasan Shibuya. Gadis itu baru saja meminta florist mengemas satu buket bunga tanda ucapan selamat.

Hari ini Yuchae akan datang ke konser musik. Biasanya ia tidak mau mengunjungi acara semacam itu. Terlalu bising dan memekakkan telinga. Tetapi karena ini adalah hari besar Jungkook, ia bersedia datang meskipun Jungkook tidak mengetahui niatnya. Karena sebulan lalu Jungkook berharap Yuchae bisa hadir.

Kadang-kadang Jungkook memang masih menyebalkan. Namun sejak lelaki itu fokus pada karirnya dan sejak ia pindah ke Tokyo, hubungan mereka agaknya sedikit renggang. Jungkook jarang menghubunginya, begitu pula dengannya. Berbeda dengan kakak pertamanya. Walaupun Yuchae tidak pernah menghubungi Aru lebih dulu, tetapi Aru selalu menyempatkan diri menanyakan kabar atau sekedar menyuruhnya makan dan tidur cepat.

"Anak itu bertanya kapan kau membalas pesannya atau meneleponnya," kata Namjun mengambil tujuh batang baby's breath bertangkai pendek dan memberikannya pada florist lainnya.

"Entahlah. Aku juga bingung harus mengatakan apa. Belum lagi kami sama-sama sibuk." Yuchae menjawabnya sambil merenung. Dibandingkan dengan Jungkook, Yuchae merasa hubungannya dengan Jihun punya jarak yang lebih jauh. Semakin lama Yuchae hampir tidak merasa mereka memiliki kedekatan seperti masa-masa sebelumnya.

Dia merindukan Yoon Jihun jika boleh jujur.

Gadis itu berkedip dan baru tersadar saat seorang florist menyerahkan baby's breath putih yang telah dibuntal pita merah muda kepada Namjun.

"Ahjussi pesan bunga?"

Namjun mengangguk, menunggu florist itu menghitung harga bunganya. Setelah itu Yuchae tidak lagi bertanya.

☙ ❧

Kepala Yuchae berdenyut-denyut membayangkan akan seperti apa suasana konser. 24 tahun hidupnya belum pernah sekalipun ia menonton konser musik. Apalagi Namjun menolak bergabung dan akan kembali ke hotel. Yuchae tidak bisa memaksa minta ditemani karena pria itu bilang ada pekerjaan yang harus dituntaskan malam nanti.

Dalam perjalanan menuju tempat konser, ia melihat billboard iklan Jungkook yang dipajang besar-besaran di pusat kota. Beberapa orang menatapnya sambil lalu, sekumpulan gadis merekamnya, namun lebih banyak orang-orang yang berjalan diburu waktu seolah tidak tertarik mendongak; adalah orang yang sibuk, yang tidak begitu peduli pada sosok idola.

Jika diperhatikan mendetil, Jungkook banyak berubah. Rambutnya disemir hitam dalam iklan itu. Tetapi dari foto yang diunggahnya ke media sosial semalam, warnanya menjadi pirang. Tampan sekali. Tidak heran mengapa wajah itu bisa memikat banyak penggemar hanya karena kedipan main-main.

Setelah diperhatikan lagi saksama, Yuchae menyadari hal lainnya...

"Dia mirip sekali denganmu." Namjun tahu-tahu sudah ada di sebelahnya setelah membeli satu botol air mineral.

Yuchae berusaha menyembunyikan senyumnya. Benar, Jungkook memang mirip sekali dengannya. Banyak temannya yang tak tahu hubungan mereka mengatakan mereka seperti Doppelgänger.

"Aku juga sempat berpikir begitu. Tapi hidup kami jauh berbeda. Dia punya banyak orang yang mendukungnya."

"Kau ingin jadi sepertinya?"

"Pernah berpikir begitu. Kadang-kadang aku iri dan berharap bisa hidup seperti kedua kakakku. Aku pernah mencoba menjadi seperti mereka. Tapi rasanya seperti ingin mati. Bagaimanapun mereka indah dipandang," bisik Yuchae diakhir kemudian menarik napas untuk memenuhi dadanya yang sedikit berat. "Meskipun keluarga... kami merasa seakan masih punya benang pemisah."

Tidak jauh dari markah penyebrangan jalan, Namjun ikut memandangi papan billboard yang menyedot segenap perhatian Yuchae. "Kau adalah bunga yang bisa melebihi rasa ego dan mimpimu, kau tahu."

Yuchae menoleh pada Namjun yang tidak membalas tatapannya.

Pria itu masih memperhatikan wajah Jungkook di papan iklan. "Sekuntum bunga bisa tumbuh di atas ribuan tanah. Tugasmu hanya perlu lampaui satu persatu dan coba jejaki mana tanah basah yang lebih membuatmu nyaman."

Klausa itu membuat Yuchae tercenung. Kenapa ada pria semenarik ini, pikirnya. Dari semua orang yang dikenalnya hanya Namjun satu-satunya orang yang mampu menggugah hatinya dengan ucapan penuh implikasi, yang bisa menegurnya tanpa kesan menggurui.

Kemudian pria itu melanjutkan, "Selalu keinginan paling kuat dalam diri manusia. Sesuatu yang membuatmu ingin mencapai segalanya, ingin menjadi nomor satu, yang seolah menjadikanmu ikan parit yang berenang menuju samudra padahal bukan itu keinginanmu. Namun, adalah kesalahan besar berdiri di belakang orang lain dan berusaha melewati garis takdir mereka."

Jika kau berpikir kau hanya menjadi bayang-bayang orang lain, kau belum tentu bisa melihat apa yang semestinya bisa kau taklukan. Karena pada akhirnya, sesuatu yang harus kau lampaui adalah dirimu sendiri. Kau adalah bunga untuk hidupmu. Kau bisa melakukan perjalanan yang lebih panjang. Perjalananmu masih sangat panjang untuk menemukan tanah yang cocok. Itulah yang manusia sebut bunga kehidupan."

Pria itu berkedip dan muncul segaris senyum di bibir, lalu menarik napas dan memberikan air mineralnya kepada Yuchae. "Untuk jaga-jaga kalau haus."

Yuchae kehilangan kata-kata dan suaranya. Lagi-lagi dengan kurang ajar Namjun kembali merenggut sekeping hatinya tanpa permisi.

Ia berkedip terkesiap saat Namjun mendorong satu senti lagi botol air ke depan perutnya. "Kudengar dalam tempat konser tidak ada yang supermarket. Ambillah."

Yuchae tertawa menanggapi. "Terima kasih." Ia menerimanya dan mengucapkan dengan santun.

"Mau terima ini juga?" Namjun menunjukkan bunga yang sejak tadi dipegangnya.

Yuchae mengerjap kaget. "Bukankah ini untuk orang lain?"

"Aku bilang begitu?"

Tunggu, apakah pria itu sempat mengatakannya untuk seseorang?

"Aku membelinya karena kau mirip bunga ini,"—gypsophila paniculata, baby's breath, bunga musim panas. Melambangkan cinta abadi, kemurnian, dan kebebasan. Mewakili perasaan tulus. Sebagai pengganti kalimat bahwa Namjun sudah terjatuh semakin dalam pada gadis muda ini.

Mata Yuchae panas, dan ia tidak tahu mengapa pria ini bisa sangat mudah mendistraksi perasaannya. "Terima kasih." Kemudian Yuchae mengangkat tangan kirinya yang dibebat arloji. "Lebih baik Ahjussi pergi sekarang. Kereta akan tiba sepuluh menit lagi."

"Kau hapal jadwal kereta?"

"Keliling Tokyo selama hampir setahun, membuatku seperti punya kompas di kepala."

Namjun tertawa atas guyonan itu. Namun seperti biasa, Yuchae kembali dibuat tak mengerti mengapa pria ini tertawa.

"Kau mau menghubungiku setelah sampai asrama?"

Yuchae mengangguk-angguk. "Aku akan menghubungi Ahjussi setelah konser. Semoga pekerjaanmu lancar."

Namjun terdiam sejenak lantaran ragu. "Terkait kejadian tadi malam, kau tidak menyesal melakukannya denganku?"

"Menyesal. Kalau Ahjussi bilang melakukannya karena terpaksa. Tetapi aku tidak mau repot-repot bertanya, biar kau yang bicara pada dirimu sendiri."

"Kau tidak ingin bertanya apa pun padaku mengapa pada akhirnya aku melakukannya?"

Yuchae mendesah lelah. "Percuma. Toh aku juga sering bertanya pada Ahjussi kenapa bersikeras menikah denganku, tapi jawabannya selalu sama 'kuberitahu saat aku ingin' selalu begitu. Bukankah jawaban itu sedikit menyebalkan kalau didengar berulang-ulang. Bahkan karena jawaban itu, aku sampai menyesal telah bertanya."

Namjun tertawa renyah dan mengacak bagian atas kepala Yuchae. "Kalau begitu nikmati konsermu."


[]

SelfishWhere stories live. Discover now