31| Teman

2.3K 571 64
                                    

Jeritan melengking seorang anak di bandara yang masih lumayan sepi membuat Yuchae mengangkat pandangannya dari laptop. Anak itu menangis sepanjang jalan sambil memegangi tangan sang ibu menuju lounge. Hidung anak laki-laki itu merah dan wajahnya basah karena air mata serta ingus. Namun seolah tidak peduli, sang ibu terus berjalan dengan raut kesal sampai mereka bertemu pria yang kemungkinan si ayah di depan pintu masuk lounge.

Pria itu menggendong si anak dan mengusap wajah anak itu dengan segenap perhatian. Barulah tangisan si anak dapat berhenti. Yuchae tak tahu pasti apa yang membuat anak itu menangis, tetapi bibirnya tersenyum saat membayangkan begitulah gambaran keluarganya di masa depan. Pasti sedikit merepotkan membawa anak kemana pun.

Tidak ingin berlarut-larut pada khayalannya, ia mengecek jam tangannya dan mulai merapikan barang-barang bawaan yang sempat diambilnya dari tas kemudian memakai topi Adidas hitamnya dan berjalan menuju pintu keluar bandara. Kira-kira sudah tiga minggu berlalu sejak Namjun menemuinya di Tokyo. Ia tidak sabar bagaimana kalau pria itu melihatnya di depan rumah tanpa pemberitahuan.

Tapi pertama-tama Namjun bukanlah tujuan utamanya pulang ke Seoul untuk melakukan liburan singkat satu minggu. Ia akan bertemu Yoon Jihun terlebih dulu sebelum pulang ke rumah dengan ransel di punggungnya.

Setelah menyantap tiga samgak kimbab dari toserba 24 jam, ia mengunjungi perpustakaan yang terdekat untuk mengisi daya baterai ponselnya sambil membaca beberapa literasi pengembangan game. Salah satu dosennya menjanjikan akan memberikan Yuchae tempat di salah satu web game animasi serta bersedia menjadi konsultan untuk menciptakan full game yang bisa dipromosikan pada akun Fiverr* apabila nilai ujian dan praktiknya semester ini meningkat.

*Platform freelancer dunia

Pukul 15:31 ia meninggalkan perpustakaan dan pergi ke Maebongsan menuju SFlex Center. Di sinilah stadion e-sport terbesar di Korea untuk menyelenggarakan permainan populer seperti Overwatch, League of Legends, dan permainan daring lainnya.

Arena pertandingan baru akan dibuka setengah jam lagi. Untungnya ia sudah mereservasi tiket dua minggu lalu melalui situs web sehingga tidak perlu takut kehabisan. Yuchae sempat memandang sekeliling. Tempat ini mirip gedung bioskop dengan papan-papan led di sepanjang dinding. Lampunya dibuat redup, berwarna biru neon agar wajah artis-artis e-sport bisa kelihatan dengan jelas.

Ia mengenal hampir semua dari mereka. Wajah paling familier adalah Faker, idolanya, pemain game asal Korea. Satu-satunya gamer profesional Asia di bawah 30 tahun yang berhasil masuk dalam majalah Forbes.

Animo pertandingan terasa pekat di tempat ini. Beberapa wanita membawa poster dan hand banner untuk mendukung tim favoritnya. Adapula orang-orang yang berasal dari luar Korea ikut meramaikan arena.

Begitu Yuchae duduk di kursinya, begitu ia menyaksikan layar pertandingan di panggung yang membatasi kedua tim, dan begitu matanya menangkap sosok yang sejujurnya begitu ia rindukan. Yoon Jihun. Sudah berapa lama mereka tidak tertawa bersama. Sudah berapa lama hubungan mereka begini.

Melihat Yoon Jihun sekarang membuat sesuatu di sudut hatinya seakan bergetar. Lelaki itu mengenakan kaos putih dan jaket biru parch tim sama seperti anggota kelompoknya. Bukan tidak tahu, Yuchae selalu mengikuti perkembangan Jihun. Lelaki itu berhasil meraih mimpinya. Namun ia merasa semua itu sudah terlalu jauh bagi dirinya yang belum melakukan apa-apa.

Tetapi ketika suara Namjun bergaung di telinganya, Yuchae yakin dia bisa bersabar sedikit lebih lama.

Dapat terlihat di sebelah kursi lelaki itu duduk seorang gadis cantik—Kim Haze—adik tiri Kim Namjun yang entah bagaimana kabarnya karena mereka jarang berbicara atau menanyakan kabar satu sama lain. Jihun dan Haze melakukan high five saat menang putaran pertama.

SelfishWhere stories live. Discover now