Bab Sebelas

9.2K 684 156
                                    

Halooo, aku kembali lagi.

***

Rinda menyambut kehadiran Ara dengan tatapan sinis, ia semakin tidak suka dengan Ara semenjak gadis itu berpacaran dengan Devan, bukan cuma Rinda, tetapi hampir semua karyawan kantor tidak menyukainya. Namun, yang terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya cuma Rinda.

"Duh, anak magang yang enggak tahu diri, bukannya kerja yang benar, malah goda bos. Lo jual dada lo, ya?" ujar Rinda saat Ara menempati kubikelnya. "Duh, dasar ya betina. Biar apa sih? Oh, biar diantar jemput, dibeliin barang branded, cara lo kampungan!"

Ara sebenarnya malas untuk meladeni mulut Rinda, tetapi ucapannya sangat menyebalkan. "Kenapa? Mbak iri? Udah jadi senior tapi enggak bisa dapatin bos?"

Karyawan lain yang mendengar perdebatan itu bukan melerai, malah menjadikan tontonan gratis yang menghibur, ada yang merekam dan upload ke snapgram juga.

"Dih, sorry ya, palingan bos mau tubuh lo aja, atau lo sengaja jual diri?"

Ara yang mulai panas, langsung beranjak dari tempatnya, dan melayangkan sebuah tamparan ke pipi Rinda.

"Dengar ya Mbak Rinda, Anda ini adalah orang berpendidikan, tapi mulutnya sama kayak orang gila yang enggak bisa mikir."

Tidak terima degan perkataan Ara, Rinda langsung menjambak rambut Ara. Dan terjadilah aksi jambak menjambak. Tidak ada satu pun yang melerai, mereka malah menikmati adegan ini.

Akhirnya Ara terpikir untuk menendang Rinda, hingga gadis itu terhuyung ke belakang, dan kepalaya membentur meja yang terbuat dari kaca itu.

Raut bahagia orang-orang tergantikan oleh raut cemas, mereka berbondong-bondong menghampiri Rinda, sementara Ara mundur beberapa langkah, tanpa sadar apa yang ia lakukan adalah mencelakai orang lain.

***

Setelah kejadian tadi, Ara langsung dipanggil oleh Devan, sementara Rinda sudah dilarikan ke rumah sakit dan seluruh biaya ditanggung oleh kantor.

Devan menatap Ara dengan tajam, sementara Ara hanya bersikap biasa saja karena yang dihadapinya ini adalah sang kekasih.

"Chloe Xiomara, apa yang kamu pikirkan waktu kamu nendang si Rinda?"

Ara menggeleng. "Cuma kesal aja, ngatain orang sembarangan."

"Ya udah biarin aja, yang penting kamu enggak kayak apa yang dia bilang, kan? Dia juga kalau udah capek bakal diam. Kalau kamu kayak gini, bakal buat orang makin enggak suka sama kamu, paham enggak?"

Ara menghela napas. "Kamu ini bawel kayak emak-emak, ya udah sih biarin, aku kan cuma membela diriku sendiri."

"Tapi enggak sampai melukai orang lain, Ara!"

Devan kira hanya Rinda yang terluka, oke Rinda terluka fisik yang jelas lukanya dapat dilihat, sedangkan Ara adalah luka hati yang semua orang menganggap baik-baik saja, sementara Ara merasakan sakit yang bisa dirasakan sendiri.

"Dev, kamu kira cuma Rinda yang luka? Oke fine, kepala dia berdarah dan itu terlihat, sementara aku luka hati enggak ada yang peduli. Padahal tanpa kalian sadari, yang membunuh itu benda tajam, tapi mulut yang tajam."

"Ya aku paham-"

Ara beranjak dari tempatnya. "Kamu enggak akan pernah paham."

Devan ikut bangkit dan menahan pergelangan tangan Ara sebelum ia keluar dari ruangan itu. "Yang izinin kamu keluar siapa?"

Ara mengendikkan bahunya.

Devan menyelipkan anak rambut Ara. "Pacar aku ternyata bar-bar." Kemudian berbisik, "kalau di ranjang juga bar-bar enggak?"

Ara memukul pelan bahu Devan. "Bar-bar kayaknya, nanti kamu yang aku bikin enggak kuat jalan."

"Kebalik, Juleha."

Ara mengalungkan tangannya ke leher Devan, sembari menatap laki-laki itu dengan senyuman tipis. "Dev, kalau aku minta kamu balikin Ratu ke orangtuanya gimana?"

"Kan kamu tahu sendiri kalau orangtua dia gimana."

Ara mengangguk. "Percaya deh sama aku, enggak ada satupun orangtua kandung yang mau anaknya terluka."

"Tapi dia ada bapak tirinya."

"Iya, tapi dia juga punya ibu kandung yang bakal tolongin dia."

"Tetap enggak bisa, Ra."

Ara menyenderkan kepalanya ke pundak Devan. "Aku cemburu sama Ratu, apalagi pas tahu dari Raka kalian makan bareng. Kalau kamu sayang aku, please biarin dia pergi dari tempat kamu."

"Iya nanti aku bakal cariin kosan buat dia."

Ara langsung memeluk Devan dengan perasaan bahagia. "Makasih, Sayang."

Mungkin emang sebaiknya Ratu memulai hidup barunya agar lebih mandiri.

***

Hari ini adalah hari terakhir Ratu menjalani masa orientasi di SMAN 5 Jakarta, saat ini ia sedang menunggu bus di halte depan sekolah seraya menatap layar WhatsAppnya karena ada chat dari Devan.

Kak Devan: Ratu, malam ini mulai kemasi barang-barang kamu ya, besok Kak Dev antar cari kos.

Hati Ratu terasa sakit membaca deretan huruf itu, dan napasnya tercekat. Namun, Ratu tetap berusaha senyum.

Iya, Ratu. Udah saatnya lo pergi, cari kehidupan lo sendiri. Devan itu bukan siapa-siapa.

Dengan satu tarikan napas Ratu membalas chat itu.

Ratu Azalea: oke, Kak. Makasih ya buat tumpangannya selama ini, maafin juga kalau aku banyak salah dan suka repotin.

Ratu pun langsung naik ke bus tersebut yang mengantarnya pulang. Ia melirik isi dompetnya saat ini yang hanya tersisa 200 ribu. Ratu hanya mengandalkan uang dari gajinya bekerja di kafe yang tak seberapa, sementara ayahnya sudah dua bulan ini tidak pernah kirim uang lagi, dihubungi pun tidak aktif.

Setelah sampai di apartemen, Ratu langsung mengemasi barang-barangnya, ia sudah memutuskan untuk pindah sore ini juga, sekarang atau besok pun sama saja.

Sebelum keluar dari rumah, ia masak dulu untuk Devan. Setelah selesai, dia menata di atas dan diselipkan sebuah note kecil.

Kak Dev, makasih ya buat kebaikan Kakak selama ini, maaf juga kalau aku sering nyusahin. Ini makanannya dimakan, Kak. Oh iya, sering istirahat dan jangan lupa makan, jangan terlalu workaholic hehe.

Ratu Azalea.

Ratu pun keluar dari apartemen itu dengan langkah yang pasti, tidak ada air mata yang mengalir, dan tidak ada patah yang tak disembuhkan.

Ratu hanya membawa satu ransel yang berisi beberapa lembar pakaian, buku pelajaran, dan beberapa barang penting lainnya.

Ia tidak ingin naik bus lagi, lebih baik jalan kaki untuk irit ongkos, sejauh apa pun jaraknya harus ia tempuh dengan berjalan. Saat lelah ia akan berhenti sejenak untuk mengumpulkan tenaganya.

Hujan pun kini menyapa Jakarta, Ratu bergegas mencari teras ruko sebagai tempatnya berteduh.

Ia memeluk tubuhnya sendiri untuk melawan dinginnya cuaca saat ini, memandang butiran air yang turun, dan itu membuatnya tak dapat menahan air mata.

Di saat semua orang suka hujan, tetapi Ratu tidak suka, karena saat hujan tiba ia menyaksikan ayahnya keluar dari rumah.

Sekuat apa pun Ratu berlari di bawah air hujan, tidak membuat ayahnya menoleh atau berpaling. Dan saat rintikan ini membasahi semesta, kenangan buruk itu pun muncul.

Ratu menyeka air matanya, sembari berkata. "Ratu itu cantik, pintar, kuat, hebat, mandiri, dan mampu menaklukan dunia."

Itu mantra yang selalu ia sebut di saat dirinya benar-benar rapuh. Sekarang ia benar-benar sendiri, jadi ia harus terbiasa berjalan di atas kaki sendiri.

Di saat hujan reda, ia pun kembali melanjukan perjalanannya.

***

Aku nulis pas bagian Ratu itu merinding guys.

SAVIOR (END)Where stories live. Discover now