Bab Dua Puluh Tujuh

7.4K 687 100
                                    

Setelah sampai di rumahnya yang megah, Ara langsung disambut kekecawaan orangtuanya. Pria keturunan Spanyol yang sudah puluhan tahun menetap di Jakarta itu menatap anaknya dengan murka.

Sebuah tamparan keras melayang di pipi Ara, ini adalah kali pertama Mike menampar putrinya itu, lalu ia melempar ponselnya yang berisi video panas ke arah Ara.

Ara melihat video yang sama yang masuk ke ponsel Devan, ternyata Raka bukan hanya mengirimnya ke Devan, melainkan ke ayah Ara juga.

"ARA! Pernah Daddy ajarin kamu untuk menjadi bitch?" ucap Mike yang sudah fasih berbahasa Indonesia, meski aksen bulenya masih belum hilang. "Sekolah tinggi-tinggi, ternyata enggak berpendidikan, apa bedanya kamu dengan perempuan yang menjual dirinya di club malam, hah?"

Saat Mike ingin menghajar Ara, namun Indira langsung menahan tangan suaminya, ia tidak mau Mike melakukan kekerasan pada anak semata wayangnya itu.

Ara tersenyum miring, ia balik menatap tajam ke arah ayahnya, tidak ada raut ketakutan sama sekali yang muncul di wajahnya. Sifat keras Ara memang menurun dari ayahnya.

"Memangnya kalian peduli sama apa yang aku lakuin di luar sana? Siapa teman aku? Gimana pergaulan aku? Pernah kalian tanya tentang itu? Jadi, jangan salahkan aku kalau aku memilih kesenanganku sendiri, sementara kalian juga enggak pernah menasihati aku!"

Mike yang tidak terima dengan ucapan anaknya itu, langsung melakukan pembelaan. "Kami itu sibuk, kami bekerja dari pagi sampai malam untuk membiayai hidup kamu! Dan untuk masalah pergaulan, kamu sudah dewasa, kamu bisa menenetukan sendiri mana yang benar, mana yang salah, jadi jangan menyalahkan kami atas apa yang kamu perbuat!"

Ara membuang napasnya kasar, begitulah jika terjadi perdebatan antara Ara dan Mike, tidak ada yang mau mengalah, sementara Indira tak kuasa untuk menghentikan perdebatan ayah dan anak itu.

"Kalian sibuk bukan untuk aku, tapi untuk popularitas kalian, biar orang-orang hormat akan harkat dan martabat yang kalian punya. Aku enggak butuh kekayaan. Bahkan, selama aku sekolah sampai ke perguruan tinggi aku selalu pakai beasiswa karena aku pintar." Ara menghela napas pelan. "Bahkan kalian enggak tahu, kapan aku mulai pacaran, kapan aku mulai ciuman dan having sex, dan kalian enggak tahu apa-apa tentang aku. Kalian pikir dengan uang aja bisa bikin bahagia?"

Apa yang dikatakan oleh Ara memang benar adanya. Mike dan Indira terlalu sibuk sama karir masing-masing sampai lupa bahwa ada anak mereka yang butuh perhatian dan kasih sayang.

"Aku bahagia bisa miliki semua yang mau, barang branded, hape keluaran terbaru, dan apa pun itu, tapi itu enggak ada apa-apanya dibanding perhatian dari kalian." Ara menyeka air matanya yang tak sengaja jatuh. "Tapi kalian enggak peduli, yang peduli sama aku cuma Tante Hana. Dan Tante Hana tetap orang lain, bukan orangtua aku, yang aku butuh itu kalian."

Indira langsung memeluk Ara, entah kapan terakhir kali ia memeluk putrinya itu, Indira pun lupa. Wanita itu menyeka air mata putrinya dan menenangkan agar berhenti menangis, sebagai ibu ia merasa bersalah. Ia kira dengan harta itu cukup membahagiakan Ara, tapi nyatanya salah, semua itu tak cukup. Ara lebih butuh orangtuanya daripada uang.

Mike menatap Ara lekat-lekat. "Kamu harus menikah dengan Raka!"

Ara terkejut, lalu menggeleng kuat. "Aku enggak cinta dia."

"Dia mengancam kalau akan menyebarkan video itu di media sosial kalau kalian enggak menikah, dan itu akan mencoreng nama baik keluarga."

Ara mengembuskan napasnya, lalu memohon agar ayahnya tidak memakskan pernikahan tanpa cinta. "Gunakan kekuasan daddy untuk membungkam Raka, please. Aku enggak cinta dia."

"Apa salahnya kamu nikah sama dia? Bukannya dia enak di ranjang sampai kamu yang memimpin, hm? Udah enggak usah protes, sebelum semuanya terlambat kalian harus menikah."

"Daddy egois!"

Mike menangkup pipi Ara, lalu berbisik. "Kamu sendiri yang menggali lubangmu, Ara, dan itu kamu harus siap jika kamu terjatuh ke lubang itu."

Ara langsung membanting barang apa saja yang ada di sekitarnya, ia melampiaskan kekesalan terhadap benda yang yang tidak bersalah.

Indira langsung menenangkan Ara, dan memeluk putrinya, sembari berkata, "Sudah, Nak, semua akan baik-baik saja."

Ara speechles Indira berkata seperti itu, dan ucapan itu seperti mantra, Ara langsung tenang, ia hanya terisak dalam pelukan ibunya.

"Mami sama Daddy sayang sama kamu, hanya saja kami pikir, apa yang kami lakukan selama ini sudah cukup membuat kamu bahagia." Indira membelai rambut Ara. "Maafin Mami sama Daddy, ya."

Terkadang beberapa orangtua di dunia ini terlalu menganggap bahwa kebahagiaan adalah harta yang melimpah, padahal nyatanya, kehangatan keluarga lebih membahagiakan, boleh semangat mencari uang, tetapi jangan sampai anak yang menjadi korbannya, lalu berujung pada kenakalan atau pergaulan bebas.

Untung saja Ara masih berprestasi, dan tidak sampai melakukan hal yang lebih parah dari seks. Narkoba misalnya.

***

Malam ini Ratu menginap di apartemen Devan, tetapi tenang, tetap kamar terpisah, tidak ada sentuhan tak senonoh lainnya, karena kebetulan besok adalah hari minggu, mereka mau car free day bareng, jadinya Ratu menginap saja.

Ratu menatap tubuhnya di depan kaca, ia tidak memakai bra karena bagian dadanya yang masih sakit. Akhirnya Ratu ke kamar Devan, ia ingin meminjam jaket atau hoodie milik lelaki itu, setidaknya untuk menutupi dadanya yang tidak memakai alas.

Devan yang sedang rebahan sambil memainkan ponselnya pun menatap ke arah Ratu.

"Kak, pimjam hoodie dong."

Mata Devan langsung tertuju ke dada Ratu, kemudian ia beranjak ke lemarinya untuk mengambil hoodienya yang berwarna hitam, setelah itu ia berikan kepada Ratu.

"Untung aku laki-laki yang bisa tahan iman, kalau enggak, kamu udah aku makan!"

Ratu langsung mengenakan hoodie itu. "Aku kan manusia, emangnya Kak Dev kanibal?"

"Bukan, aku kan vampir."

Ratu bergidik ngeri. "Serem."

Devan langsung mengajak Ratu duduk di kasur, dan menatap perempuan itu lekat-lekat, ia menyelipkan anak rambutnya. "Kalau sampai besok memarnya belum sembuh, kita ke dokter ya, Kak Dev khawatir."

Ratu mengangguk, kemudian Ratu teringat sesuatu. "Kak Dev, benaran udah enggak cinta Kak Ara? Dia balik ke sini buat Kak Dev."

Devan menggeleng. "Enggak, aku udah punya kamu, anak kecil yang berani banget masuk ke hati aku."

"Benar kata Kak Ara, aku itu anak kecil yang kalau dibandingin sama Kak Ara jauh banget, apalagi kalau disandingin sama Kak Dev, berasa pangeran sama upik abu."

Devan merangkul Ratu dengan senyuman manis yang selalu Ratu suka. "Ratu, jangan insecure, bagi Kak Dev, kamu itu spesial, mau apa pun penilaian orang, kamu tetap yang istimewa."

Ratu langsung memeluk Devan. "Makasih, Kak Dev, udah menjadi penyelamatku."

Devan mengangguk. "Kamu juga penyelamat Kak Dev, penyelamat dari patah hati, dan penyelamat buat pedang Kak Dev nantinya."

"Maksudnya pedang itu apa, Kak?"

"Alat untuk buat bayi."

"ASTAGA, RATU BARU NGEH!"

Akhirnya Ratu bisa tidur nyenyak malam ini, rasa penasarannya sudah terbayar.

***

Guys, sejauh ini, hikmah yang bisa kalian petik dari cerita ini apa sih? Semoga apa yang aku sampaikan bisa kalian terima dengan baik ya

Komen jangan lupa

See you

SAVIOR (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu