Bab Tiga Puluh Enam

6.9K 662 197
                                    

Ara datang ke kantor Devan dengan membawa perutnya yang sudah besar, seperti seorang wanita yang minta pertanggungjawaban dari seorang laki-laki yang menghamilinya.

Ara meneliti ruangan yang dulu tempatnya keluar masuk, belum ada yang berubah, hanya saja pemiliknya yang sudah berubah status, dulu single sekarang suami orang.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Devan dengan matanya tak beralih dari laptop. Menatap laptop lebih menarik daripada menatap mantan pacarnya itu.

Ara terkekeh pelan mendengar pertanyaan Devan yang sangat angkuh, ia tidak sabar untuk menertawakan pasangan suami istri itu, dulu ia dicampakan sekarang mereka sulit punya anak. Kalau saja Devan menikah dengannya pasti Devan bisa memproduksi anak yang banyak.

"Istrimu mandul, kasihan," ujar Ara yang sudah gatal untuk mengatakan hal itu. "Siapa suruh ninggalin aku buat dia? Seharusnya kamu nikahi aku bukan Ratu!"

Devan melototkan matanya. Mandul? Bahkan ia tidak tahu perihal itu, Ratu tidak mengatakan apa-apa kepada Devan. Devan tidak percaya, pasti semua ini hanya omong kosong Ara untuk membuat rumah tangga Devan dan Ratu menjadi berantakan.

"Mandul? Sok tahu kamu, bahkan kamu nggak tahu apa-apa tentang kami. Lihat kami pasti akan memproduksi anak yang banyak. Pernikahan kami baru hampir dua bulan, wajar kelau belum ada anak."

Ara tertawa, sampai memukul-mukul dadanya karena merasa lucu dengan apa yang dikatakan oleh Devan.

"Beberapa waktu yang lalu aku ketemu istrimu di rumah sakit Bunda Sehati, terus istrimu datang untuk memeriksa kandungannya, pulang-pulang dengan wajah sendu. Dan kamu nggak tahu perihal itu? Istrimu nggak cerita? Kenapa dia nggak jujur? Bukannya dalam rumah tangga harus selalu terbuka?"

Devan langsung menutup laptopnya, dan berdiri menghampiri Ara dengan emosi yang sebentar lagi akan meledak.

"Dengar ya, kamu nggak berhak ikut campur urusan rumah tanggaku, mau mandul apa nggak, sama sekali bukan urusanmu, Ara. Mending kamu urus saja rumah tanggamu dengan Raka."

Ara terkekeh pelan. "Santai, Dev, aku ke sini cuma pengin kasih kabar aja, kalau nunggu istrimu yang kasih tahu sendiri, mungkin sampai lebaran monyet pun nggak akan pernah terjadi."

Ara merasa menang melihat Devan yang seemosi ini, dendamnya belum terbalaskan sepenuhnya, dulu ia dibuang, sekarang Ara ingin Ratu yang terbuang. Melihat Devan dan Ratu hancur adalah impian terbesarnya saat ini.

"Dengar, Sayang. Istrimu nggak bisa hamil, dan aku masih siap jadi istrimu."

Tangan Devan rasanya ingin menampar wajah Ara, dari tadi Devan menahan emosinya karena ucapan Ara yang selalu memancingnya. Di sisi lain Devan juga kecewa karena Ratu tidak pernah menceritakan apa-apa kepadanya, seharusnya Ratu terbuka agar mereka bisa mencari solusi sama-sama.

"Dengar, ya, Ara, aku nggak akan pernah tinggalin Ratu, kalaupun kami nggak bisa punya anak, masih banyak anak orang lain yang diadposi?"

Ara tertawa sambil tepuk tangan. "Hah? Jadi kamu nggak pengen punya darah daging sendiri? Urus anak sendiri dan anak orang lain itu beda rasanya, Devan."

Diandra yang mendengar perdebatan kedua orang itu dari luar, langsung masuk ke dalam ruangan dan menatap Ara dengan tatapan tak suka.

"Eh, mau Devan punya anak apa enggak, itu bukan urusan kamu deh, urus aja dirimu sendiri, udah becus apa enggak?"

"Setidaknya aku lebih subur dari istrinya Devan." Ara memegang perutnya. "Lihat sebentar lagi aku akan melahirkan," ujarnya dengan bangga.

Baru kali ini Diandra bertemu wanita yang tidak tahu malu seperti Ara, pengganggu rumah tangga orang, benar-benar tidak tahu diri.

"Mending kamu keluar!" ujar Devan seraya mengepalkan tangannya. "Keluar sebelum saya panggik security untuk seret kamu."

Ara pun langsung beranjak dari sofa, dan sebelum itu ia berbisik kepada Devan. "Sad boy banget kamu, Dev. Buang berlian untuk sebiji jagung."

"KELUAR!"

Setelah itu Ara pun langsung keluar ruangan Devan dengan penuh kemenangan. Benar-benar manusia berhati iblis.

Devan langsung terduduk di sofa sembari menatap lurus ke depan. Diandra pun lantas duduk di sebelah Devan untuk menenangkan atasannya itu.

"Kenapa dia nggak jujur, Di? Kenapa? Dia kasih aku harapan seolah kami sebentar lagi akan punya anak? Kenapa dia nggak jujur biar cari solusi bareng-bareng?"

Diandra mengelus pundak Devan untuk memberi ketenangan. "Mungkin dia punya alasan kuat, selesaikan dengan kepada dingin, Dev."

"Aku ini suaminya, apa pun alasannya dia harus jujur."

Diandra sudah lebih dulu mengenal asam garamnya pernikahan, sangat tahu betul rasanya ketidakjujuran salah satu dari pasangan. Hubungan Diandra dan mantan suaminya juga berakhir karena ketidakjujuran suaminya.

Diandra memeluk Devan untuk menenangkan laki-laki itu, seperti yang Devan sering lakukan dulu saat dirinya terluka. Diandra hanya tidak ingin Devan menanggung luka ini sendirian, ada dirinya tempat berbagi.

"Oh jadi ini kelakukan Kak Dev!" Ratu yang tiba-tiba datang dengan membawa makanan untuk Devan, melihat apa yang dilakukan suaminya dengan sekretaris barunya itu.

Diandra langsung berdiri dari tempatnya, berusaha menjelaskan apa yang terjadi. "Ini tidak seperti apa yang kamu lihat."

Ratu menyeka air matanya yang turun tanpa diperintah. "Apa kesetiaan itu terlalu mahal sampai kalian mengkhianatiku?" Ratu bergerak ke arah Devan yang sedari tadi diam saja. "Ngomong, Kak. Kenapa diam aja?"

"Bisa diam enggak?!" Emosi Devan memuncak membuat Diandra dan Ratu kaget. Baru kali ini mereka melihat sosok lain dari Devan, pria itu amat penyanyang, tapi kali ini berbeda.

Ratu mundur beberapa langkah kemudian ia berlari keluar ruangan dengan membawa kotak makanan yang masih ada di genggamannya, tadi setelah pulang kuliah ia bela-belain langsung masak, karena ingin mengantarkan makan siang untuk Devan. Namun, ia justru disuguhkan oleh pemandangan yang membuatnya sakit hati.

"Dev kejar! Istrimu salah paham!"

Devan masih bergeming, akhirnya Diandra yang mengejar Ratu yang berlari sembari menangis. Diandra tidak ingin menjadi duri pada rumah tangga orang lain karena ia tahu bagaimana sakitnya pengkhianatan.

"Ratu, tolong dengarkan." Diandra mengatur napasnya setelah berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Ratu.

Ratu menoleh. "Aku lebih percaya dengan apa yang aku lihat." Kemudian ia kembali melanjutkan langkah kakinya.

***

Kesel gak sama part ini?

SAVIOR (END)Where stories live. Discover now