🦋 PART 08 🦋

9K 526 62
                                    

Ruangan itu gelap dan hampa.

Seorang cewek masih dengan penampilan yang berantakan meringkuk memeluk lututnya di pojok ruangan. Air mata di pipinya sudah mengering, matanya bengkak dan kantung matanya menghitam.

Semalaman dia meratapi nasibnya. Mengingat bagaimana para bedebah itu merenggut paksa kesucian dan kehormatannya dalam sekejap mata.

"Ini semua gara-gara Kiara..." Suara paraunya terdengar bergetar. Matanya memandang kosong satu obyek. Kepalanya ia sandarkan pada tembok. Kemudian berikutnya, oktaf suara Aqila meninggi meneriakkan isi hatinya.

"INI SEMUA GARA-GARA KIARA!!" Tangannya gesit mengambil vas bunga di meja dekat dia, lantas melemparnya ke tembok hingga pecah berkeping.

PYAAR!!

"GARA-GARA KAKAK BRENGSEKNYA CEWEK ITU, GUE HARUS KEHILANGAN KESUCIAN YANG SELAMA INI GUE JAGA!! ARGHH!!" Sekali lagi, Aqila menjadikan rambutnya sebagai pelampiasan dengan cara menjambaknya kasar.

Pelecehan tidak dapat disepelekan. Luka fisiknya mungkin bisa terobati, tapi tidak dengan luka hati dan traumanya. Akan terus membekas sepanjang masa, bahkan sampai maut menjemput. Tidak ada yang akan memahami trauma mendalam seorang korban pelecehan, kecuali memang sudah mengalaminya sendiri.

Tak peduli bahkan pelakunya tampan sekalipun. Pelecehan tetaplah mengerikan. Hal itu begitu menjijikkan, bahkan bagi pelaku, rasanya dihukum mati saja tidak cukup saking besarnya luka hati yang ditorehkan pada korban.

Luka batin itu akan selalu menganga lebar seiring waktu, dan itulah yang Aqila rasakan.

"Gue benci sama lo, Ki..." Tercekat, suara Aqila dipaksa keluar dari kerongkongan.

"Ini semua salah lo karena ga cegah kakak jahat lo itu..." Tangisnya mengecil, tapi itu jauh lebih mengiris hatinya. Menangis tanpa bersuara, adalah saat di mana seseorang benar-benar berada di titik terendah.

Aqila menepuk dadanya. Semua rasa sakitnya berawal dari sana. Terus menjalar dan menggerogoti seluruh tubuh dan pikirannya.

"Sakit...!"

Ya, itu sangat menyakitkan. Sangat.

"Aqila?"

Sebuah suara menginterupsi dari luar pintu kamar ini yang tertutup rapat. Namun hal itu tak mampu membuat Aqila mengalihkan tatapannya yang kosong dan hampa.

"Kamu kenapa nggak sekolah?" Wanita lanjut usia itu bertanya dengan nada datar. Riak di matanya tak menunjukkan ekspresi apapun.

Sama sekali Aqila tak menyahutinya. Air mata terus luruh membasuh pipi dan wajahnya. Dia merasa sangat putus asa, bahkan tak lagi memikirkan tentang sekolah.

Aqila bangkit, tapi bukan untuk membukakan pintu. Melainkan berjalan ke antara pecahan vas yang berserakan di lantai kamarnya yang dingin. Cewek itu pun mengambil satu pecahan yang kelihatan paling besar dan runcing.

Ditatapnya lama pecahan vas runcing itu, kemudian tangan kirinya terangkat ke udara. Riak di matanya berkilat tajam penuh amarah.

Lantas mulutnya bergumam, "Gue bersumpah, Kiara. Lo harus menebus dosa kakak lo ke gue. Bahkan lo harus menanggung lebih daripada apa yang gue alami."

Dengan sekali sayatan, Aqila telah berhasil memutus urat nadinya.

Ya, dia bunuh diri.

Tubuh ringkihnya tumbang ke lantai. Bersamaan dengan pintu kamarnya yang dibuka dengan kunci cadangan dari luar, lalu Sang Nenek yang membeku dengan mata terbelalak kaget.

***

Pulang sekolah terasa aneh. Seluruh siswa-siswi SMA Treekleyn 03 diharuskan menghadiri ruang aula di lantai empat. Mereka saling bertanya-tanya ada gerangan apakah pihak sekolah mengumpulkan mereka di mari.

ANIMOUS #1 | 2022 [ END ]Where stories live. Discover now