2. Mimpi buruk

20.6K 2.5K 65
                                    


Luna berharap ini hanya mimpi. Tapi sepertinya mimpi buruk itu memilih untuk menetap abadi dalam kehidupan, memaksanya menghadapi kenyataan yang sudah dimulai sejak detik pertama matanya bersitatap dengan mata teduh milik pria yang sembilan tahun lalu pernah meninggalkannya di hari pernikahan mereka, Marshello Andika Halim.

Begitu melihatnya keluar dari ruang perawatan Marshel langsung mendekati Luna, dan tanpa mengatakan apapun mengulurkan tangan untuk merengkuh gadis itu dalam pelukan.

“Maaf, aku terlambat … ada sedikit masalah negosiasi dengan eksportir dari Jerman.”

“Aku senang kamu sudah disini sekarang,” Luna berbicara dengan suara serak saat lelaki itu beralih menatap Luna dengan tatap prihatin yang menjelaskan kesadarannya pada pelik situasi yang harus gadis itu hadapi.

Marshel mengelus samping lengan Luna lembut, bahasa tubuh yang intim namun tidak mengarah pada kesan sensual yang bisa memicu ingatan Luna pada ketertarikannya dulu pada lelaki itu.

Luna tercenung, menyadari jika Marshel kini terasa asing untuknya.

“Seharusnya aku sudah siap dengan kenyataan kalau Papi bisa pergi kapanpun, tapi ….” Luna tidak dapat melanjutkan kalimat, tapi derai airmata yang membasahi pipi mampu menjelaskan apapun yang tak bisa dia katakan.

“Tidak ada satupun orang yang siap menerima ini,” bisik Marshel menghibur.

Lelaki itu tahu kanker hati yang menggerogoti fisik Handoko Tejakusuma semakin memburuk sejak setahun lalu. Dirinya juga tahu bukan satu kali Luna menawarkan opsi pengobatan  di luar negeri pada sang ayah.

Tetapi sang tuan besar selalu berkilah tak ada obat yang lebih mujarab baginya selain pernikahan sang puteri tunggal.
Bukan pernikahan biasa, melainkan pernikahan yang diatur untuk mendatangkan cash flow dan profit lebih besar bagi Tejan Investama.

Dulu satu kali dirinya dan Luna pernah lolos dari rancangan itu. Tapi Marshel tahu, kali ini Luna sudah tidak bisa menghindar lagi.

“Marshel, kamu pasti tahu apa yang Papi ingin dari aku, kan?” pertanyaan itu membuat Marshel kembali fokus menatap Luna. Gadis itu menatapnya, menunjukkan tekad untuk mencari tahu banyak hal.

“Om Handi dalam kondisi tidak stabil saat membuat keputusan. Kanker itu jelas mempengaruhinya secara emosional, jadi kamu tidak perlu terlalu memikirkan hal itu.”

“Tolong katakan saja, please! Aku sudah janji sama Papi untuk melaksanakan apa saja yang beliau inginkan tanpa penundaan apapun.”

“Bahkan jika itu artinya kamu harus menikah?” Marshel bertanya ragu. Tapi kemudian anggukan kepala Luna membuatnya hanya bisa menggelengkan kepala tak percaya.

“Dengan siapa Papi ingin aku menikah? Apa dengan kamu?”

Guratan senyum tipis Marshel, juga gelengan yang mengikutinya entah kenapa membuat Luna justru merasa lega. Padahal seingatnya dirinya pernah merasakan luka mendalam ketika secara sepihak lelaki itu membatalkan pernikahan.

“Jadi?”

“Raja.”

“Siapa!?” Luna berseru tak percaya.

“Rhapsody Raja Rembaka,” Marshel mengucapkan nama itu satu demi satu seakan Luna terlalu idiot untuk tahu siapa lelaki yang akan dia nikahi.

“Tapi … tapi … dia,”

“Sudah bercerai empat bulan yang lalu,” tambah Marshel ringan.

“Keluarga Rembaka, seperti juga Om Handi, menganggap ini perjodohan yang bagus.”

Luna memejamkan mata seraya setengah berharap agar keterkejutannya bisa dikubur dengan melakukan itu, “Apa pilihan lainnya?”

Lebih dari sekedar tatap prihatin, kali ini Marshel justru terlihat tertekan dengan informasi yang akan disampaikannya pada Luna.

“Om Handi ingin kamu mengambil alih kepemimpinan Tejan Investama.” Selama beberapa saat jawaban itu membuat Luna terdiam sebelum menyiratkan protes dalam wujud gumaman tak percaya.

Selama ini dirinya selalu mengira, pada akhirnya keputusasaan akan membuat papinya mengakhiri kuasa mayoritas atas saham Tejan Investama, dan membiarkan pemilik saham mayoritas yang baru menentukan arah kebijakan untuk perusahaan yang membawahi industri rokok dan industri penunjangnya yang lain hingga pada akhirnya Luna tidak harus bertanggung jawab atas kesehatan pecandu nikotin yang tercipta dari bisnis ini.

Tapi apa yang barusan Marshel sampaikan membuatnya terpukul. Untuknya, pilihan itu hanyalah menikahi pewaris jaringan bisnis lain dan membiarkan  keluarga suaminya kelak mengambil alih bisnis tembakau keluarga Tejakusuma, atau memegang kendali tunggal untuk memimpin kelanjutan—atau justru kejatuhan—bisnis besar yang selama ini menjadi penopang kehidupan ratusan ribu pekerja yang hidup dari keuntungan yang didapat dari hisap demi hisap nikotin.

“Kamu tahu apa alasan Papi hingga senekad ini?”

Marshel menghela nafas sesaat. “Ini semua karena El.”

“El! Maksud kamu Ciel Alferro!” dahi Luna mengerut bingung, “Bagaimana bisa dia ada hubungannya dengan ini!”

“El sudah kembali untuk melibas kita semua,” Marshel menatap Luna dalam-dalam. “Rupa-rupanya sambil menunggangi Asia Pacific Tobacco.”

El. Luna menyebut nama itu dalam hati. Mengenangnya dalam ingatan.

Ciel Alferro.

Si rupawan yang tenang, siswa terbaik di sekolah, dan atlet ambisius yang penuh prestasi dari angkatan mereka. Perpaduan sempurna dari pemikiran yang cemerlang, wajah tampan, otot yang kuat, dan daya tarik pria berlidah tajam.

Kemiskinan dan asal-usul yang dia sandang sama sekali tidak menghalangi banyak anak gadis keluarga kaya untuk jatuh hati pada Ciel Alferro.

Tak terhitung jumlahnya gadis yang mengemis cinta El. Melimpahinya dengan kemewahan dan berharap El terkesan, semuanya berakhir sebagai kuntum bunga yang gugur dari panjangnya rekor takhlukan seorang El. 

Empat belas tahun lalu Luna menyelamatkan El dari hal buruk yang bisa saja membuatnya berakhir jadi sampah masyarakat. Nyatanya pertolongan itu dianggap sebagai usaha ikut campur yang keterlaluan bagi El.

Mungkin harga diri lelaki itu yang membuatnya menentang uluran tangan Luna, menolak mentah-mentah dengan upaya-upaya yang berpotensi merusak diri sendiri.

Penolakan El mencapai puncaknya saat lelaki itu dengan sengaja menjalin hubungan dengan ibu tiri Luna.

Setelah sekian banyak hal yang telah Luna beri untuk El syukuri, lelaki itu memilih untuk mengecewakan Luna. 

Luna mengerjabkan mata untuk mengusir ingatan itu. Segalanya mendadak terlihat jelas dimata Luna. Keinginan  sang papi agar dirinya kembali ke Indonesia, menikahi Raja Rembaka dan memimpin Tejan Investama. Semua itu karena papinya tahu perusahaan keluarga mereka kemungkinan akan kewalahan karena ekspansi bisnis perusahaan asing yang bergerak dibidang yang sama.

Terlebih motor penggerak saingan bisnis mereka adalah orang yang secara pribadi dianggap sebagai musuh keluarga.

Luna tahu apa yang harus segera dilakukannya. Mengurus Tejan Investama hanyalah salah satunya, tapi yang pertama … dirinya harus bersiasat untuk memerangkap El. Segera.

TBC

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang