17. Ice Cream Monsters

12.9K 2.3K 341
                                    


Saat Luna tiba di kediaman keluarganya, hari sudah beranjak sore. Pelayan yang membukakan pintu menyambutnya sambil melapor jika El dan Vale sedang bermain di taman belakang.

Tanpa banyak bicara Luna melangkah ke sana di ikuti Risa dan Dery. Dari kejauhan dia bisa mendengar tawa samar Valeraine, dan saat sudah dekat, dari balik pintu kaca yang memisahkan ruang santai belakang dengan teras dan taman tropis yang di dominasi rimbunan pohon cempaka, soka berbunga merah, juga semak bunga Gardenia yang dipenuhi bunga putih yang sedang mekar dengan sempurna, langkah Luna terhenti.

Di halaman rumput dilihatnya El juga Vale yang memegang saber sesuai dengan ukuran tubuh masing-masing. Saber milik Vale berukuran lebih kecil karena memang dibuat khusus untuk Luna saat seusia dengannya.

Raut wajah gadis kecilnya tampak bahagia saat mengayunkan pedang pipih itu ke arah El. Meski gerakannya goyah tapi El memujinya dan tampak bangga, perlakuan yang tidak akan pernah bisa didapatkan dari pelatih anggar professional seperti yang diterima Luna dulu.

Luna tersenyum tipis kemudian mendorong pintu kaca, melangkah mendekat pada dua orang yang belum menyadari kehadirannya.

Pak de Danu yang ikut menyaksikan Vale dan El berlatih lah yang pertama kali menyadari kehadiran sang majikan.
"Mbak, udah pulang?"

Luna tersenyum dan mengangguk, "Pak de gimana kabarnya?" ia bertanya sambil memeluk tubuh tua itu, kedekatan layaknya seorang anak dengan ayahnya sendiri. "Sehat?"

"Alhamdullilah Mbak, Pak de sehat. Terakhir cek gula darah sama kolesterol juga aman kok."

"Ya syukurlah kalo begitu, tetep rutin ya periksa, jangan bikin Luna cemas ... Papi sudah nggak ada, sekarang Luna cuma punya Pak de."

"Iyo! Pak de ndak mau mati dulu sebelum Mbaknya nikah sama Mas El."

"Eh!" Luna tercengang mendengar permintaan frontal itu.

"Mbak nggak lihat mereka sudah deket banget meski baru ketemu! Anak perempuan memang biasanya lebih deket sama Ayah, pasti susah Mbak kalo mereka sampai dipisah."

Rasanya jika bumi berputar hingga seluruh hal yang berdiri diatasnya tumbang pun tidak akan membuat Luna sepusing ini. El pria yang berbahaya, Luna tahu itu sejak lama. Hanya saja dirinya tidak menyangka jika bahaya yang ditimbulkan lelaki itu bentuknya justru seperti upaya untuk menjeratnya dalam apapun yang menjadi kehendak lelaki itu.

Jebakan rantai emas, dulu Raja menyarankan itu padanya sebagai cara menjerat El agar memihaknya. Tapi apa yang terjadi justru kebalikan, alih-alih rantai emas sepertinya El menggunakan rantai kapal untuk menjebaknya.

"Saya akan pikirkan itu nanti," tahu tak ada gunanya mendebat persangkaan Pak de Danu, Luna menyahuti ringan sambil tersenyum dan melambaikan tangan saat mendengar suara riang Valeraine memanggilnya.

Gadis kecil itu membuang pedangnya begitu saja dan berlari kearahnya diiringi El dari belakang. Luna menangkap tubuh mungil itu saat melompat kepelukannya.

"Mom, tadi Dad ajak Vale main ke museum di sebelah loh ... ada foto Opa Handy sama Mommy juga disana," Vale melompat ke gendongan Luna dan langsung bercerita.

"Oh ya!" Luna melirik El sekilas. "Terus kalian kemana lagi?"

"Daddy ajak Vale makan tahu ... tahu, tahu apa tadi namanya, Dad?"

"Tahu Tek!" El membenarkan yang buru-buru diangguki oleh Valeraine.

"Enak loh Mom."

"Oh ya! Terus Vale barusan Vale ngapain?"

"Oh Dad, ajak Vale latihan agar," kata-katanya terhenti untuk mendengar koreksi dari El, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kata Dad Mommy juga jago main pedangnya,"

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang