14. Hati ke hati

12.2K 2.2K 187
                                    


Suara air yang dituang ke gelas terdengar di dalam kamar saat Luna menghapus sisa-sisa airmatanya dengan saputangan yang tadi diberi oleh El.

“Minum ini,” segelas air putih disodorkan El padanya yang langsung Luna terima tanpa banyak bicara.

“Besok, pagi-pagi sekali kita sudah harus pergi ke Surabaya, aku harap kamu bisa punya cukup waktu untuk istirahat sekarang.”

Luna mengangguk usai menuntaskan minuman dan menaruhnya di nakas, tatapannya kemudian tertuju pada El yang masih duduk di sisi tempat tidur dekat lututnya. Tidak ada lagi ancaman terselubung dari cara pria itu menatapnya sekarang. Sebaliknya, Luna melihat El tampak tengah memikirkan sesuatu dengan serius.

“Kamu nggak sedang memikirkan cara untuk mengusik kehidupan kami kan El?” tanya Luna lugas.

Sebelah alis tebal lelaki itu terangkat, tampak bingung dengan pertanyaan Luna. “Apa maksudnya Luv?”

Luna menarik kepalanya hingga sandar ke kepala tepat tidur, ekspresinya tampak lelah akan tetapi matanya yang sayu menatap tak berkedip pada lelaki dihadapannya. “El, diantara semua orang aku paling tidak ingin berseberangan denganmu … tapi jika terpaksa,”

“Luv, kita berdua saling mengenal, kamu tahu aku, dan aku sangat paham seperti apa kamu, apa kamu sadar kalau apa yang terjadi hari ini disebabkan karena kita tidak pernah membicarakan keinginan dan tujuan kita satu sama lain dengan cara yang wajar,” El tersenyum tipis meski demikian tatapannya saat menatap Luna tampak lembut.

“Soal Valeraine, kamu jangan khawatir … aku mendukungmu dan janji akan ikut menjaganya, jika terjadi sesuatu padanya jangan segan-segan bicara padaku.” 

Luna memiringkan kepalanya dan mengerjab pelan sebelum menyuarakan isi pikirannya, “untuk Valeraine kamu bisa bertoleransi … lalu bagaimana dengan TIV?”

El menarik nafas panjang mendengar desakan dalam nada suara wanita kecintaannya itu.

“Apa kamu masih ingin membuatku melepas TIV, El?”

“Luv … aku nggak mengerti alasan kenapa kamu masih bertahan dengan TIV padahal jelas-jelas kamu nggak pernah tertarik dengan bisnis ini! Kamu paham nggak kalau melepas saham TIV pada APT adalah cara untuk melepas semua bebanmu.”

Untuk sesaat Luna hanya bisa terpaku mendengar alasan yang dikemukakan El. Alasan yang sungguh tidak seperti dugaannya selama ini.

“Kamu nggak membenci TIV?” bisik Luna tak percaya.

El menghela nafas sebelum menggeleng pelan. “Seperti yang sudah pernah aku katakan padamu … TIV adalah hal paling rentan dalam megahnya nama Tejakusuma. Aku tidak membencinya karena itu, tapi aku membencinya karena menjadi beban untukmu.”

Luna tersenyum miris menyadari jika satu-satunya orang yang bisa memahami jalan pikirannya justru pria dihadapannya, musuh nomor satu yang harus dia hadapi. “Aku terlahir dengan beban itu El,” katanya pelan. “Sampai mati pun sepertinya itu akan menjadi beban untukku.”

El tampak tidak setuju dengan kalimat Luna, “kamu punya pilihan untuk menanggung atau melepaskannya Luv, biar aku yang mengambil alih itu dan kamu bisa menjalani hidup dengan cara yang kamu inginkan selama ini.”

“Cara yang aku inginkan,” ulang Luna dengan mata menerawang langit-langit kayu kamarnya. “Aku bahkan sudah lupa apa yang benar-benar aku inginkan.”

El mengulurkan tangan untuk meraih jemari Luna yang mencengkram tepi selimut erat. “Luv, lihat aku,” pintanya lembut yang segera dituruti Luna tanpa banyak bicara. “Kamu masih ingat buku apa yang kamu baca saat masih kelas tiga SD?”

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang