15. Bangga

13.2K 2.3K 304
                                    


El kembali keesokan paginya sesuai janji yang dia buat. Saat itu Luna sedang duduk sendirian menikmati sarapannya di beranda.

Kesan dingin, juga arogansi menguar jelas dari tiap pori-porinya meski wajah yang menawan itu hanya dirias sederhana menampilkan kesan glowy dan translucent hingga menimbulkan ilusi seolah-oleh Luna bukan manusia yang terdiri atas darah dan daging, melainkan boneka kristal yang rapuh dibalik keangkuhannya.

Balutan setelan kerja navy yang dipakainya terdiri dari bahan kualitas terbaik dan jelas-jelas sangat nyaman untuk dikenakan, akan tetapi di mata El penampilan Luna yang berkelas selain membuatnya tampak profesional dan penuh percaya diri juga bagai pernyataan yang menegaskan jika wanitanya sudah siap untuk menghadapi apapun.

"Hai!" Sapa El langsung mengambil tempat kursi kosong disebelah Luna duduk. "kamu terlihat cantik," bisiknya sambil menyeringai santai.

Tidak ada reaksi yang Luna beri selain mengangkat gelas tehnya dan menyesapnya perlahan. "Sarapan!" katanya menawarkan.

El mengangguk kemudian ikut menatap isi piring Luna. Selain salad sayuran, roti vegan dan smoothies Luna tidak menyentuh apapun lagi. Meski begitu beberapa jenis makanan ber-protein ikut tersaji disana, menjelaskan kalau Luna jelas sudah memperkirakan dirinya akan datang tanpa sarapan.

Luna berinisiatif mengisi piringnya dengan menu yang setahunya dulu biasa El makan. Nasi goreng ala kampung, telur mata sapi, sosis dan irisan tomat dan timun tak lupa ditambahkannya.

"Tadi aku cicip nasi gorengnya sudah pedas, atau kamu masih mau pakai sambal juga?" tanya Luna seraya menyodorkan piring yang sudah diisi.

El tersenyum, "thanks ... nggak usah, ini aja udah cukup," mereka sarapan dengan tenang sampai suara nyaring Vale membuat El buru-buru mengelap bibirnya dengan serbet, sesuatu terasa membuncah di dadanya mendapat perlakuan semanis ini dari ibu dan anak Tejakusuma yang sama-sama cantik.

Valeraine yang berlari menuju padanya menubruk El sambil tertawa kesenangan terlebih saat tubuhnya terangkat dari lantai dan beralih kepangkuan El dalam sekejab mata. Semua itu tidak lepas dari perhatian Luna.

"Pagi Princess? Tidur nyenyak semalam?"

"Uhum!" Vale mengangguk semangat.

"Vale sudah sarapan?"

"Udah Om, sama Tante Risa tadi di kamar."

"Oh ya! Sarapan apa?"

"Bubur ayam."

"Oh, enak dong ya."

Vale mengangguk antusias. "Kata Mommy kita mau pergi ke rumah Eyang Handy? Om ikut nggak?"

El membelai rambut coklat Valeraine sambil mengangguk. "Kan Om sudah janji kemarin."

"Oh iya ya."

Tatapan El teralih pada Luna yang masih diam menatap keduanya. "Sejak kapan Vale kamu kenalkan sama Papimu, Luv?" El bertanya penasaran.

"Sejak masih kecil sekali," sahut Luna pelan. "Nggak ada yang aku tutup-tutupi dari Vale."

El tersenyum getir saat melihat puteri kecil Luna itu justru mengiyakan pernyataan sang bunda dengan anggukan bangga.

"Vale ini anak istimewa Om," timpal Valeraine. "Kata Mommy Vale nggak punya Daddy kayak anak-anak yang lain ... Daddy-nya Vale itu garis-garis kayak yang ada ditempelan buah apel itu loh. Apa namanya Mom! Bar ... baracod."

"Barcode, Sayang!" Luna mengoreksi dengan santai tanpa menyadari perubahan ekspresi wajah El.

Dalam tahap tertentu kejujuran Luna pada Vale terasa brutal di mata El. Baginya Vale belum pantas mengetahui kenyataan asal-usulnya hingga sedetail itu. Tapi mau marah pada Luna juga rasanya percuma mengingat kepekaan Luna terhadap hal-hal yang El anggap krusial justru setipis udara di puncak Everest.

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang