24. Kegemparan (1)

12.9K 2.1K 584
                                    

Yang katanya nungguin Bang Jambret jempolnya mana?

Luna mengedarkan pandangan pada interior rumah tempat El membawanya.

Nuansa putih mendominasi meski sesekali sebagai penyeimbang—pada beberapa bagian—terdapat pula warna abu-abu es sebagai penetral. Terang, nyaman, namun tetap elegan, itulah kesan yang berhasil Luna tangkap.

“Suka?” El yang berdiri disebelahnya bertanya.

“Bagus,” sahut Luna datar.

Sebelah alis El terangkat, reaksi Luna yang seperti ini sungguh sesuai ekspektasinya, sulit memang untuk membuat wanita sekelas Luna terkesan tapi jelas El tahu caranya. Dengan santai direngkuhnya bahu Luna dan membawanya masuk ke dalam. 

Tidak ada ruang tamu formal layaknya di rumah kebanyakan, hanya ada sofa-sofa lebar yang sepertinya difungsikan sebagai tempat bersantai dan ruangan luas tanpa sekat yang menghubungkan antara satu ruang ke ruangan lainnya.

“Rumah ini sepertinya nggak dirancang untuk mengakomodir aktivitas kamu?” cetus Luna setelah cukup lama memandangi tumpukan buku yang sengaja diletakkan pada nakas dekat sofa. “Aku nggak melihat ruang kerja di sini!”

“Memang enggak ada,” El melangkah ke pantry membuka lemari es untuk mengambilkan Luna air dingin. “Ini hanya akan jadi rumah … bukan tempat kerja, dan kalaupun terpaksa aku bisa bekerja dari mana saja, di sini,” dia menepuk permukaan meja pantry, atau di sofa itu,” tunjuknya ke tempat Luna duduk sekarang.

“Pasti nggak nyaman!”

“Selama aku bisa melakukannya sambil melihat kamu dan Vale itu akan menyenangkan.”

Luna tertegun. Hanya sesaat sebelum dia mengalihkan tatapan ke setiap sudut rumah El. “Kapan kamu mulai membangunnya?”

“Satu tahun yang lalu, karena tidak terlalu besar dan butuh banyak detail jadi tidak perlu waktu lama,” El mendekat meletakkan sekaleng rotbeer dan  air mineral di meja.

“Aku nggak pernah membayangkan kalau ini rumah yang cocok untukmu … terlalu sederhana—maksudku—kupikir seleramu lebih dari ini.”

El terkekeh mendengar penjelasan Luna, “memang benar, kalau menuruti selera, aku akan membuat replika istana musim panas Tsar Rusia.”

Luna mendengus dengan senyum tertahan, “itu lebih masuk akal, sangat kamu.”

“Tapi aku ingin rumah yang ada kamu di dalamnya Luv,” El berbisik di telinga Luna sementara tangannya merengkuh Luna dari depan hingga punggung Luna sandar di dadanya. “Dan aku terlalu kenal seleramu hingga terasa sulit untuk mengabaikannya.”

Luna tidak mengatakan apapun lagi, hanya menikmati apa yang dilihat dan dirasakannya. El benar, dia menyukai rumah ini.

Rumah yang menyimpan kehangatan, menjanjikan ketenangan dalam perlindungan sang pemilik yang kini mendekap dan menyandarkan dagu ke puncak kepalanya.  

“Ini akan jadi tempat persembunyian kita. Di sini kita nggak akan menerima tamu yang nggak kita undang untuk datang, dan sedapat mungkin kita akan mengerjakan pekerjaan rumah secara mandiri.”

“Terdengar seperti utopia,” Luna menggumam muram yang justru disambut kekehan tawa El. Kalau dipikirkan lagi, wanitanya memang bisa selucu itu saat mengomentari hal-hal yang sebenarnya sepele di mata orang lain.

“Yang penting, di sini Valeraine hanya akan dibesarkan sebagai seorang anak bukan ahli waris.”

Luna memejamkan mata sambil menghela nafas panjang, berbeda dengan El yang tampak sudah memperhitungkan segalanya, dia justru tidak siap dengan ini.

Tetapi hatinya tahu dia tidak ingin kembali berseberangan dengan El, dan kalau ini memang satu-satunya cara untuk menarik El ke sisinya maka akan dia lakukan.

“Memikirkan apa heuh?” bisik El ditelinganya.

Luna tersenyum tipis kemudian berbalik, meski ingin membuat jarak tapi El tetap menahannya dalam pelukan hingga yang bisa dirinya lakukan hanyalah menahan dada El dengan lengannya,  “kegemparan macam apa yang akan kita buat, El?”

“Yang mengguncang dunia,” sahut El mantap, sedikitpun tanpa rasa bersalah, “paling tidak Indonesia.”

“Akibatnya tidak akan bagus untuk reputasimu,”

“Biar itu jadi urusanku … kamu lebih baik fokus dengan pernikahan kita.”

Pernikahan. Satu kata yang seketika bisa membuat Luna menahan nafas.

“Ragu lagi?” tanya El sambil tersenyum.

“Aku merasa sudah membuat keputusan yang salah dengan menerima tawaranmu,” Luna menatap El resah, “salah karena aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa dengan pernikahan selain mendapatkanmu untuk TIV.”

“Bagaimana kalau kita bertukar tugas.”

Luna menatap El tak mengerti.

“Jadi aku yang akan urus pernikahan dan kamu yang urus fase transisi menjelang lompatanku dari APT ke TIV.”

“Boleh seperti itu?” Luna menatap El ragu, “maksudku itu kan diluar kebiasaan, kebanyakan pria mungkin akan berpikir aku melakukan pelecehan,”

“Aku suka dilecehkan kalau begitu,” seloroh El dengan tampang jumawa yang membuat Luna menahan senyuman. “Dan aku tahu itu pula yang akan kamu pikirkan saat aku membuatmu memakai gaun pengantin yang mengembang, iya kan?”

Luna melepaskan diri dari pelukan El untuk kemudian menghempaskan tubuh di sofa tak jauh dari tempat mereka berdiri, “kamu mau aku seperti Vale yang terobsesi jadi Elsa?”

“Ayolah … itu pasti terlihat luar biasa,” El menyusul, kembali merangsek memeluk wanita tercintanya seraya mengendus aroma bunga dari ceruk antara leher dan bahu Luna.

“Jangan yang mengembang, aku suka gaun yang tetap mampu memperlihatkan siluet tubuhku, juga gaun dengan potongan yang tegas dan tak berornamen.”

“Bilang saja terus terang kalau kamu ingin menikah dengan memakai pakaian kerjamu, Luv.”

“Tepat!” seru Luna lugas sebelum meringis akibat gigitan kecil yang El lakukan di lehernya.

“Jangan panggil aku El kalau tidak bisa membuatmu memakai salah satu gaun pengantin desainer papan atas dunia,” balas lelaki itu. “Yang mengembang berlapis-lapis hingga tampak seperti gulungan ombak di lautan.”

“Atau justru domba yang belum dicukur peternaknya,” potong Luna tak mau kalah. Mereka berdua lalu bertukar tatap penuh arti.

“Bahkan meski begitu aku nggak akan keberatan,” sahut El tulus. “Aku ingin semuanya terlihat sempurna … tapi kalau bukan kamu orangnya, semua itu nggak ada artinya Luv.”

Luna membelai sisi kiri wajah El dengan ujung telunjuknya, “apa yang sebaiknya aku katakan saat ada lelaki berkata setulus itu El?”

“Katakan, ok atau baiklah saja sudah cukup.”

“Ok.”

“Apa?”

“Baiklah.”

El terkekeh, “aku bisa gila mendengarnya.”

“Jangan dulu.”

“Kenapa?”

“Aku belum membalasmu.”

El tahu kalau yang dimaksud Luna berkaitan dengan langkah pertama wanita kecintaannya untuk membuatnya lepas dari APT, “apa yang akan kamu lakukan Luv?” 

“Aku belum tahu,” suara Luna terdengar datar tapi El tahu kalau gadisnya sudah membuat pilihan. “Tapi mengunjungi calon suami di jam kerja mungkin akan cukup menyenangkan.”

Dengan hati-hati El meraih tangan Luna yang masih membelai tulang rahangnya untuk kemudian mengecup punggung tangan itu. “Kalau begitu aku akan menunggu.”

tbc

Pendek dulu aja yaaa ... Pemanasan dulu 😉😉😉 lanjutan tergantung jumlah vote n komen.


Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang