13. Confession

14.7K 2.2K 290
                                    


“Mommy, aku mau itu,” Vale menarik-narik tangan Luna seraya menunjuk kearah penjual gula kapas diseberang tempat mereka berdiri.

Hari ini jadwal pertandingan Khem dan timnya, Gwen ikut menyaksikan di stadion sementara Luna dan Vale memilih menghabiskan waktu bersama setelah Dery dan Ikhsan memastikan jika tidak ada bahaya nyata maupun tak nyata yang mengancam mereka berdua.

“Vale mau itu?” Luna yang tidak sepenuhnya menaruh kosentrasi pada apa yang dia lakukan mengulang pertanyaan. “Ayo kita beli,” sambungnya saat melihat anggukan penuh semangat Valeraine.

Selama berhari-hari Luna memimpikan hari ini, hari dimana dirinya bisa memeluk Vale lagi dan menghabiskan waktu bersama. Siapa sangka suasana hatinya justru kacau balau setelah bertemu Vale.

Bukan. Bukan Valeraine yang membuat kacau tapi kehadiran sosok lain yang menyaksikan pertemuannya dengan Vale lah yang membuatnya merasa cemas.

Jika saja Luna bisa memaki, ingin rasanya dia melakukannya … bagaimana tidak, dunia terasa benar-benar sempit baginya hanya dengan kemunculan satu orang saja.

Luna memang sengaja melakukan janji temu dengan Gwen di hari kerja demi menghindari kecurigaan dan melindungi kehadiran Vale dari kemungkinan dimata-matai lawan bisnis. Bagaimanapun Vale adalah titik kelemahan Luna saat ini. Tapi sekarang, setelah pertemuan tidak disengaja dengan El kemarin, rasa-rasanya menyembunyikan Vale sungguh tidak berguna.

“Mommy ... kenapa kita stop disini?” si kecil yang lebih fasih berbahasa Inggris ketimbang Belanda itu bertanya, tampak keheranan karena mommynya menghentikan langkah mereka yang semula ingin menyeberang jalan. Matanya yang jernih dan lebar menatap Luna penasaran.

“Baby … apa kamu mau tinggal di sini sama Mommy?” Luna menyesal. Kenapa dia tidak pernah menanyakan ini pada Vale sebelumnya.

“Disini!?”

“Mommy punya rumah … tidak di sini, kita bisa tinggal dulu di Jakarta, nanti kalau pekerjaan Mommy sudah selesai kita bisa pindah ke Bali. Kamu mau?”

Vale tersenyum sampai matanya menyipit, “Oke.”

Luna tersenyum seraya membelai puncak kepala puterinya dengan sayang. “Jadi malam ini Vale mau kan kalau Mommy ajak nonton culture show?” entah apa yang ada di pikiran Risa saat memilih Devdan show sebagai cara untuk menyenangkan Valeraine. Bagaimanapun bagusnya pertunjukan itu, Luna tahu putrinya bukan tipe yang betah duduk berlama-lama menonton sesuatu, sebaliknya dengan kepribadiannya yang dominan Vale adalah jenis anak yang sangat aktif baik secara fisik maupun mental. 

Meski berpikir pilihan hiburan yang dipilihkan oleh Risa tidak akan cukup memuaskan bocah usia empat tahunnya, tapi Luna benar-benar tidak tahu mau membawa Vale kemana mengingat Bali tidak terasa familiar lagi untuknya saat ini.

Bahkan sejak dulupun jika disuruh memilih destinasi liburannya di Bali, Luna lebih suka menghabiskan waktu di vila pribadinya di Karangasem ketimbang tempat-tempat populer lainnya.

“Mau, tapi mau itu juga,” lagi-lagi Vale menunjuk penjual gula kapas. Luna tersenyum dan baru saja hendak melangkah turun dari  pedestrian saat tarikan kuat pada bahunya yang tiba-tiba membuat Luna berpaling kaget, matanya melebar tidak percaya saat menyadari dirinya sudah tidak lagi berdiri menghadap jalanan melainkan terlindung aman pada dada bidang seseorang yang memiliki aroma familiar di penciumannya.

Samar-samar terdengar suara lain menjauh. Suara sepeda motor yang rupa-rupanya tadi hampir saja menyambar dirinya dan Vale saat hendak menyeberang.

“Motherf****r, dat smeerlap* wanna die!!” Makian kasar dalam bahasa Belanda dan Inggris yang masuk ketelinganya membuat Luna menahan nafas saking kagetnya. Tapi tak cukup sampai disitu, kalimat makian lain diberondongkan lelaki itu padanya.

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang