6. Masa yang terlewati

14.7K 2.1K 157
                                    


Luna tidak membuang waktu untuk meragu. Dengan tenang dia kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian setelah sebelumnya memberi perintah pada asisten rumah tangganya untuk mempersiapkan salah satu mobil untuknya.

Dalam perjalanan Luna termenung memikirkan apa yang sebaiknya dia katakan agar El setuju membantunya.

El jelas lawan yang alot dalam bernegosiasi, dan jelas bukan tipe yang mau mengalah meski untuk perempuan sekalipun. Luna paham itu dengan baik, bahkan sejak kali pertama interaksi mereka terjadi.

Mengingat hal itu senyuman Luna tergurat di bibir, sementara  kenangan masa lalu menyeruak dalam ingatan yang tidak pernah dia lupakan, kenangan dari  masa empat belas tahun yang lalu;

Luna membuka pintu mobilnya begitu melihat yang sedang ditunggunya melesat melewati pintu gerbang sekolah.

Dengan mata lebarnya yang awas gadis berkulit eksotis itu memindai kombinasi angka dan huruf yang tercetak pada plat hitam di bagian depan motor besar yang baru saja menepi ke parkiran.

B 17 MS

Identik. Tidak salah lagi.

Dipejamkannya mata sambil menarik nafas panjang saat melihat empunya motor melepas helm dan menjauh dari kendaraan yang sudah terparkir aman di bawah naungan bayangan pohon angsana yang sedang berbunga.

Rasanya tidak mungkin jika Marshel bisa senekat itu. Meski demikian Luna tahu, dalam keputusasaan seseorang dapat melakkan apa saja tak peduli sekalipun dia sudah memiliki banyak hal yang dia dapatkan tanpa harus berjuang dengan susah payah. Dan Luna merasa Marshel memiliki lebih dari cukup alasan untuk berbuat nekad.

Luna kembali membuka mata, pemandangan dramatis memanjakan inderanya ketika melihat beberapa putik kecil berwarna kuning yang terjatuh mendarat di rambut gelap Marshel.

Tanpa berpikir dua kali Luna mendekati dengan langkah gesit yang sangat bertentangan dengan tubuh mungilnya yang terlihat rapuh.

“Shel!” dia berseru hingga pemuda itu berbalik menghadapnya dan tersenyum saat mengetahui siapa yang telah menyela keinginan untuk cepat masuk ke kelas.

“Hei!” kalimat itu tidak terselesaikan karena Luna keburu menyambar lengan Marshel dan menariknya ke arah mobil. “Wohoo… ada apa ini?”

“Aku mau bicara. Di Mobil.”

“Tapi,”

“Nggak lama,” Luna memastikan dengan cepat hingga tak ada penolakan yang harus dia hadapi.

“Ada apa?” Marshel langsung bertanya begitu mereka sudah masuk ke dalam mobil.

“Kemarin Shubuh, apa kamu main ke Senen?”

Marshel menatap Luna dengan alis tertaut, sedetik setelahnya dia tergelak pelan, “Cuma karena itu lo sampe nyeret gue ke sini?”

Luna menggeleng tegas. “Bukan cuma itu, tapi ini awal dari apa yang ingin aku cari tahu darimu.”

“Ngapain gue ke Senen pagi buta?”

“Jawab aja, please?”

“Nggak Lun, nggak. Gue langsung berangkat ke sini dari panti.”

“Panti!” Luna tercengang.

Cowok itu mengangguk, “Gue nginep di panti sejak Sabtu.”

“Kenapa?”

“Lo tahu sendiri alasannya apa.” Wajah muramnya membuat Luna menggigit lidah untuk menahan kata-kata yang ingin ia ucap.

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang