18. Wanita Ular

13.7K 2.2K 246
                                    


Mereka menghabiskan sepanjang sore di toko es krim Zangrandi.

Luna sengaja meminta penerbangan lepas Maghrib agar Vale puas menyicipi seluruh es krim yang diinginkannya dan tidak harus buru-buru mengejar jadwal penerbangan ke Denpasar.

Mereka tiba lebih cepat ke bandara dan masih sempat menikmati makan malam di lounge khusus penumpang jet pribadi.
Kenyang oleh es krim membuat Vale sedikit rewel dan menolak makan hingga nyaris menangis saat Luna tetap memaksa.

El yang tanggap membujuk puteri dadakannya itu, dan penolakan Vale melemah saat El menawarkan soto banjar miliknya untuk dicicipi.

Luna memijat pelipisnya pelan, dan mengatakan kekhawatiran yang selama dua hari ini mengganggu pikirannya. "El, kamu nggak bisa seperti ini terus."

El mengangkat wajahnya dan memberi Luna tatapan bertanya.

"Maksud aku jangan terlalu memanjakan Vale."

"Kenapa?"

"El, Vale masih harus pulang ke Bangkok bersama Gwen dan Khem besok, tapi melihat dia nempel terus ke kamu aku jadi ...,"

Dua pasang mata menghujam kearah Luna, sepasang mata lebar nan polos yang memerah menatapnya seakan mengatakan penolakan. Sementara sepasang mata lebar dengan sorot tajam dengan tegas menghujamkan ketidaksetujuannya.

"Kenapa Vale harus ikut teman kamu lagi?"

"Kalau kamu lupa, sahabatku Gwen juga Ibu Vale, dan karena masih punya tanggung jawab yang harus diselesaikan Valeraine harus ikut mereka ke Bangkok."

Sebenarnya Luna sendiri meragukan pilihan itu. Mengingat Gwen yang sedang hamil muda, meski Gwen tidak pernah menolak, Luna tidak ingin membuat sahabatnya kelelahan dengan tanggung jawab mengurus Vale.

Jemari mungil Vale mencengkram kemeja El erat, sementara gadis itu menyembunyikan wajah di dada El seakan meminta perlindungan dari Daddynya. Tanpa sadar El mengeratkan pelukannya ke tubuh mungil itu.

"Aku menolak."

"...."

"Kamu sudah dengar kan barusan, aku menolak membiarkan Vale kembali ke Bangkok kalau memang Valeraine nggak mau ikut mereka."

Luna tertawa dingin, "apa kamu lagi bikin lelucon sama aku, El!? Sama sekali nggak lucu!"

Tapi tatapan tegas El menatapnya tak berkedip, hingga mau tak mau Luna hanya bisa memicingkan mata saat sadar kehendak El tidak bisa digoyahkan begitu saja.

"Seperti yang aku bilang, Valeraine punya kewajiban yang harus dia selesaikan ... dia ikut preschool di Bangkok, jadi sampai kelasnya selesai tiga bulan lagi Vale belum bisa ikut sama aku ke Jakarta."

El mengacungkan jarinya menunjuk Luna, "cuma gara-gara itu kamu mau memisahkan Vale dari keluarganya!? Kayaknya kamu yang lagi ngelucu sama aku Luv!"

"Aku nggak sedang becanda!" bantah Luna kesal.

"Apalagi aku," balas El tidak mau kalah. "Sudah, biar aku urus semuanya, tapi yang jelas Vale nggak boleh ikut balik ke Bangkok besok ... Vale akan tinggal sama kita di Jakarta."

Kepala Luna rasanya berputar-putar saking pusingnya. Tinggal bersama mereka di Jakarta. Bagaimana bisa? Bahkan mereka tidak tinggal di rumah yang sama.

"Maksud kamu dia tinggal sama aku kan?" koreksinya cepat.

El mengalihkan tatapan ke Valeraine dan tersenyum, "Vale yang berhak menentukan mau tinggal dengan siapa," cetusnya seketika membuat Luna menahan nafas.
Tapi Valeraine jelas bukan balita biasa, bocah empat tahun itu sepertinya tahu dengan makna yang tersirat dari kalimat itu mengacu pada pilihan yang harus dibuatnya dan arti lain yang ... agak sedikit membuatnya kecewa.

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang