16. Menyambut badai

13.4K 2.2K 229
                                    

Luna menatap sepupunya yang sibuk menahan darah dari bibirnya yang pecah akibat tonjokan balasan El. Kemeja toska yang dikenakannya berantakan …beberapa kancing terlepas menyisakan akses bebas untuk mengintip selangka dan dada bidang yang tersembunyi dibaliknya.

“Aku nggak nyangka bahkan setelah puluhan tahun mengenal El kamu masih bisa di provokasi olehnya!” gerutu Luna sambil melirik kesal pria yang duduk di sebelahnya. Mereka berada dalam mobil yang sama yang langsung ke hotel tempat meeting diadakan. Sementara El, Vale dan Ikhsan di mobil lain yang menuju ke rumah keluarga Tejakusuma di kawasan Krembangan Utara.

Luna tidak senang dengan ini. Pertama, karena perbuatan dua lelaki itu berhasil membuat puterinya ketakutan dan menangis. Kedua, karena perbuatan itu juga dia terpaksa menunda meeting padahal setiap menit penundaan hanya akan membuang-buang waktunya untuk bersama Vale lebih lama, dan itu artinya entah kebohongan macam apa yang El suntikkan ke benak Valeraine.

“Jadi kamu pikir aku seharusnya menjabat tangannya sambil kasih selamat untuk semua kekurangajaran yang sudah dia bikin! Kamu nyadar apa nggak sih! Aku ini lagi belain kamu—sepupu aku—yang sudah dikurang ajarin sama manusia arogan yang satu itu.”

Luna hanya bisa menghela nafas panjang melihat reaksi Marshel yang menurutnya memalukan juga tidak pada tempatnya.

Marshel membabi buta memukuli El sambil berkali-kali meneriakkan kata bajingan. Terlebih saat Marshel menebak dengan lancang jika Vale tidak terlahir dari hubungan dalam pernikahan, untung saja saat itu Valeraine sudah diambil alih oleh Risa dan dibawa ke mobil sementara dirinya beserta Ikhsan dan Dery berusaha memisahkan pertarungan dua laki-laki dewasa yang jusru sedang bertindak sangat tidak dewasa itu. 

Marshel terus berteriak jika di akan melakukan apa saja untuk membuat El bertanggung jawab atas semuanya—apa yang malah membuat El tertawa puas alih-alih membalas.

Luna yakin sepenuhnya itulah yang dicari El dengan sengaja memprovokasi Marshel. Tanggung jawab! Andai saja Marshel tau kalau lelaki itu bahkan dengan lancang mengklaim dirinya sendiri sebagai ayah Valeraine, kedudukan yang membuat kepala Luna mau pecah rasanya jika memikirkan cara seperti apa yang akan dia tempuh untuk memberi pengertian pada Vale mengingat betapa lengketnya puterinya itu pada El.

“Tampaknya aku salah jika menilai hubungan kalian memburuk setelah apa yang dia lakukan dulu!” omel Marshel gusar. “Kalian bahkan punya anak bersama.”

Luna memejamkan matanya sambil mengusap dahi lelah.

“Aku baru nyadar kalau selama ini dia kuliah di Leiden, apa selama itu kalian juga sudah menjalin hubungan.”

“Aku bahkan baru tahu kalau dia di Leiden setelah pulang kembali ke Indonesia,” sahut Luna jujur.

“Oh! Jadi puterimu hasil cinta satu malam diantara pertemuan kalian.”

“Terserah kamulah mau berpikir gimana!” balas Luna, pada akhirnya mulai kesal dengan kepedulian Marshel yang kadang kelewat batas.

“Kenapa selama ini kamu nggak pernah bawa anakmu ke Indonesia? Bahkan kamu nggak biarin Om Handy tau kalau beliau sudah punya cucu.” Marshel bertanya kesal.

“Aku bahkan sama sekali nggak kepikiran untuk pulang kalau nggak karena papa sakit dan kemudian meninggal,” cetus Luna datar.

Marshel menoleh, ekspresi di wajah orientalnya yang tampan tampak kaget, “Jadi El tidak tahu kamu punya anak darimu?”

Luna menggeleng, “dia baru tahu dua hari yang lalu saat kami tidak sengaja bertemu di Bali.”

Marshel mengumpat pelan, “Benar-benar tidak bertanggung jawab. Ingatkan aku untuk menghajarnya lagi nanti.”

Pelangi Tengah MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang