28

544 36 2
                                    


Jika boleh memilih, Dirga rasanya ingin kabur dari Dwiki dan Rasti. Namun ia tak mungkin ingkar janji untuk bimbingan dengan Faya yang bahkan telah menunggunya cukup lama. Jika boleh meminta, Dirga ingin lenyap dihadapan pasangan suami istri yang tengah berbicara sesuatu namun ia abaikan karena pikirannya tengah berkelana jauh dengan khayalan dan angan - angannya.

Pada kenyataannya ia tak punya pilihan lain selain tetap tinggal. Ia tak ingin kembali merasa bersalah atau melukai mahasiswanya karena alasan dan orang yang sama. Sudah cukup ia membuat Faya pingsan karena menunggunya dibawah guyuran air hujan. Saat ini ia tak ingin membuat mahasiswinya kesal dan sakit hati karena di tinggal pergi olehnya di kafe ini.

"Bisa minggir nggak? Saya ada kerjaan!" Kata Dirga akhirnya.

Rasti cukup terkejut dengan nada dingin dari kalimat yang terlontar dari mulut Dirga. Ia dengan cepat menunduk dalam seraya menyesali perbuatannya yang membuat Dirga berperilaku dingin padanya.

Dwiki yang merasakan aura tidak suka menguar dari diri adik sepupunya lantas menarik Rasti lebih dekat dengannya. Ia merangkul pundak istrinya seraya menenangkannya.

Dirga sama sekali tidak peduli, ia lantas menuju meja Faya dan terus bergumam kata maaf karena terlambat. Faya bahkan tak berpikir panjang langsung memaafkannya. Dirga merasa lega terlebih bahkan setelah membuat Faya menunggu cukup lama, mahasiswi bimbingannya itu bahkan masih memberinya seulas senyum yang berhasil menghilangkan ketakutan dan amarah Dirga saat melihat Dwiki dan Rasti.

"Bapak kenapa tadi ingin pergi lagi?" Tanya Faya memancing Dirga. Padahal ia tahu alasannya karena pasangan suami istri yang nampak sangat serasi dan duduk di sebrang tidak jauh dari mejanya.

Entah siapa mereka? Tapi Faya dapat menangkap ketakutan, amarah dan kebencian yang di pancarkan oleh mata dosen sintingnya yang kini mulai kembali waras. Tentu saja ia berkata demikian karena Dirga bahkan sudah menyuruhnya melupakan peraturan yang pernah ia berikan. Bahkan saat dosennya itu di sibukan menyiapkan persentasi materi kuliah, penelitian, rapat di dekan, dan menggantikan serta mengambil alih mata kuliah pak Hadi selama beliau berobat. Dosennya bahkan masih menyempatkan waktunya untuk membimbingnya. Namun nampaknya keberadaan pasangan suami istri yang terus mengamati kami membuat dosennya merasa resah, gelisah, dan tidak nyaman. Faya sadari itu karena Dirga bahkan kehilangan konsentrasinya di pertengahan saat sedang membimbingnya.

Faya mengemas barang - barangnya. Ia bahkan menutup leptopnya dan berdiri dari duduknya. Hal itu jelas membuat Dirga cukup terkejut. Sikap Faya jelas kurang ajar. Bagaimana bisa disaat ia masih menjelaskan kesalahan mahasiswi bimbingannya itu, ia malah mengemaskan barang - barangnya dan menutup leptopnya. Ingin rasanya Dirga marah dan mencerca perilaku buruk Faya, namun saat ia ingin melontarkan kemarahannya lewat kalimat pedas, Faya lebih dulu menariknya keluar dari kafe setelah menaruh selembar uang seratus ribu di atas meja yang mereka tempati barusan.

Dirga hanya bisa mangap - mangap, kalimat pedas yang ia lantarkan seketika buyar dikarenakan terlalu terkejut dengan sikap spontanitas Faya juga dengan jantungnya yang terus berdebar kencang.

Sesampainya mereka di parkiran kafe, Faya melepas genggamannya pada lengan kokoh Dirga. Ia lantas berbalik dan menghadap Dirga.

"Saya rasa hari ini nggak usah bimbingan deh Pak -- ingin rasanya Dirga marah dengan pekataan Faya yang seenaknya membatalkan jadwal bimbingan mereka secara sepihak, terlebih lagi bagaimana bisa seorang mahasiswi membatalkan bimbingannya dengan dosen pembimbingnya? Ini sangat sulit Dirga percaya. Namun Faya kembali melanjut kalimatnya yang membuat Dirga tertengun -- saya rasa bimbingan hari ini nggak akan berjalan lancar terlebih suasana hati bapak nampaknya buruk. Sejak tadi pak Dirga lebih banyak melamun ketimbang menjawab pertanyaan saya"

'Bagaimana dia tahu kalau suasana hatiku sedang buruk?' Batin Dirga bertanya - tanya.

Dirga kembali tersentak saat Faya kembali melontarkan pertanyaan "Bapak mau tetap tinggal disini dan menyelesaikan masalah bapak dengan pasangan suami istri yang jaraknya hanya beberapa meter di belakang bapak, atau bapak ingin melakukan hal lain?" Tanya Faya yang kembali membuat Dirga terkejut

'Bagaimana ia bisa tahu aku punya masalah dengan Dwiki dan Rasti yang sialnya mengikuti kami'

"Bapak nggak usah terkejut saya tahu dari mana, karena ekspresi bapak sangat mudah terbaca" kata Faya seakan - akan membaca pikirannya

"Pak, masalah itu dihadapi, bukan di hindari. Masalah tidak akan pernah selesai jika bapak tak ingin memulai untuk menyelsaikannya. Sampai kapan bapak akan terus di bayang - bayangi oleh mereka? Nggak capek? Nggak risih? Saya tahu bapak pasti merasakan hal itu. Maka dari itu saran saya, bapak selesaikan masalah bapak. Bukannya bermaksud ingin ikut campur, tapi saya kasihan dengan bapak yang terus terbelenggu dengan masalah bapak" kata Faya yang menampar Dirga cukup keras.

Dirga memang tidak siap, dan selalu berkata tidak akan pernah siap. Hal itu dikarenakan ia tak pernah ingin memulai menyelesaikan masalahnya. Faya benar. Seharusnya masalah dihadapi, bukan dihindari. Sayangnya ia terlalu takut untuk menghadapi keduanya, padahal bukan ia terdakwa di antara mereka. Merekalah yang salah lantas mengapa ia merasa takut?

"Saya ingin. Namun terlalu banyak rasa takut dan kekhawatiran yang terus muncul dalam benak saya"

"Saya tebak, bapak pasti takut dan khawatir dengan hal yang bahkan belum pasti terjadi" kata Faya mengenai sasaran.

"Jika itu yang bapak pikirkan, saya cuma bisa bilang bapak adalah orang yang pikirannya dangkal. Bagaimana bisa bapak bahkan mengkhawatirkan hal yang bahkan belum terjadi? Itulah yang membuat bapak tak ingin menyelesaikam masalah ini karena kekhawatiran bapak yang berlebih. Hal itulah yang selalu alasan bapak supaya terus menghidar dari masalah bapak. Jika seperti itu terus, kapan bapak akan mendapat kebahagian?" Tanya Faya membuat Dirga terdiam cukup lama.

Faya menhembuskan nafas lelah. Hari ini kepalanya terasa hampir pecah hanya karena masalah dosennya. Dan lagi mengapa ia mau - maunya ikut campur dengan urusan orang? Padahal selama ini ia berusaha membentengi dirinya untuk tidak ikut campur dengan urusan lain.

"Sudahlah pak, saya mau pulang" pamit Faya lantas berbalik melangkah meninggalkan Dirga yang masih terdiam.

Baru beberapa langkah, tiba - tiba saja Dirga memanggilnya.

"Faya...!"

Langkah Faya terhenti, ia lantas menoleh menatap dosennya dengan raut wajah lelah dan juga kesal.

"Temani saya menghadap mereka, anggap saja sebagai bayaran atas sikap kurang ajarmu di kafe beberapa menit yang lalu"

Faya mengerjap beberapa kali. Ia berusaha mencerna perkataan Dirga dan seketika ia merutuki dirinya. Aya kampret! Ia tentu saja sudah terseret dan ikut campur dengan masalah kehidupan dosennya bukan?

.
.
.
.
.

TBC

Written on 13th, 2019

Nona Goblin is Mine [Tahap Terbit]Where stories live. Discover now