29

548 36 0
                                    


Faya sadar bahwa ia melakukan tindakan kurang ajar dengan membatalkan bimbingan dan mengemasi barang - barang dan leptopnya saat di kafe. Tapi ia lakukan itu karena ia peduli dengan Dosennya. Ia tahu ia salah. Tapi dosennya juga salah. Faya capek terus bertanya dan menegur. Tapi konsentrasi bahkan jiwa Dirga seakan terbang entah kemana. Hanya ada raganya yang duduk dihadapannya dengan tatapan mata kosong.

Jalan yang Faya ambil ia rasa sudah benar. Walaupun itu terkesan kurang ajar. Tapi mau bagaimana lagi? Faya bukan tipe perempuan yang ingin membuang - buang waktunya yang berharga hanya untuk menunggu jiwa dosennya kembali pada raganya. Namun apa ini? Dosennya meminta ia menemaninya untuk menghadapi sepasang suami istri itu? Yang benar saja!

Sudah cukup ia ikut campur atau bahkan memberi saran dan masukan kepada dosennya. Ia tak mau masuk dalam kehidupan ataupun masalah pribadi dosennya terlalu dalam. Namun nampaknya takdir tak berpihak padanya. Dosennya itu memaksanya untuk menemaninya menyekesaikan masalah dengan pasangan suami istri yang nampak serasi dan membuat Faya sedikit iri saat melihat betapa cocok dan sempurnanya mereka.

Faya hanya mampu menghela nafas berat. Ia tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan dosen pembimbingnya. Terlebih lagi dosennya beralasan ia melakukan hal yang kurang ajar dan ia harus membayarnya dengan menemaninya. Selain itu dosennya itu dengan cerdik bahkan mengancamnya bahwa kelakuannya hari ini akan ia laporkan pada Fatan dan juga akan menyebarkan keburukannya pada mahasiswa dan mahasiswi di kampusnya. Jika hal itu terjadi, tentu saja Fatan akan menceramahinya panjang lebar dan lagi, imegnya di kampus akan tercoreng karena kelakuan dosennya yang kekanakan.

Pada akhirnya Faya kalah dan kini ia tengah menemani dosennya menyelesaikan masalahnya dengan kakak sepupunya dan juga wanita masa lalu dosennya yang sempat membuatnya sangat penasaran karena mereka berdua memiliki hobi yang sama.

Sejak beberapa menit yang lalu, tidak ada seorang pun yang berani memulai angkat bicara di kafe tempat sebelumnya. Bedanya kini mereka berada di lantai dua dengan suasana yang hening dan aura  dingin mencekam yang ketiga orang berbeda usia itu keluarkan sangat cocok menggambarkan betapa besar dan serius masalah mereka.

Tak perlu bertanya bagaimana bisa Faya tahu mengenai hal itu. Ia sudah tahu hanya dengan melihat reaksi atau gerak gerik mereka yang nampak sangat kaku, dingin, ketakutan, tidak suka yang sangat jelas mereka perlihatkan dari ekspresi dan gerak gerik mereka.

Faya menghela nafas cukup keras. Hal itu berhasil membuat kakak sepupu dosennya yang seingat Faya tadi memperkenalkan dirinya. Faya lupa siapa nama pria yang kini telah menjadi suami wanita yang hampir membuat dosennya kehilangannya nyawa karena putus asa dan terlalu terpukul atas penghianatan keduanya. Mungkin jika Faya yang berada di posisi dosennya, ia juga akan melakukan hal yang sama. Beruntungnya hingga detik ini ia belum pernah merasakan hal tersebut. Walaupun ia juga pernah pacaran semasa SMA tanpa sepengetahuan Fatan. Boleh di bilang saat itu ia dan mantannya tengah dilanda cinta - cinta monyet. Beruntungnya lagi mereka mengakhiri hubungan dengan baik - baik tanpa satu orang pun yang tersakiti.

Saat menyadari betapa bosan dan mengantuknya Faya. Kakak sepupu dosennya lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan terus bergumam kata maaf karena merasa tidak enak dan bersalah. Mungkin ia merasa tidak enak dengan kehadirannya dan juga merasa bersalah karena ia harus terseret di antara mereka tanpa tau apa - apa mengenai masalah mereka.

Faya hanya membalas dengan anggukan. Ia lantas menyeruput jus alpokat miliknya yang tinggal setengah.

"Jika tidak ada hal yang ingin kalian bicarakan, saya mau pamit pulang dengan mahasiswi saya!" Kata Dirga pada akhirnya

Baik Dwiki maupun Rasti tak ada yang angkat suara. Hal itu cukup membuat Dirga kesal karena waktunya terbuang sia - sia. Dirga lantas berdiri dan hal itu membuat Faya otomatis ikut berdiri. Saat Dirga hendak melangkah pergi, Dwiki mencekal lengan Dirga dan meminta sepupunya itu untuk kembali duduk.

Awalnya Faya senang akhirnya mereka akan pergi walaupun masalah di antara mereka belum selesai. Saat ini Faya tak peduli dengan itu. Sebab yang ia pedulikan hanyalah dirinya yang jelas merasa mati kebosanan berada di antara mereka. Jika saja ia tak disini menemani Dirga, mungkin saja ia akan nonton maraton drama Goblin kesukaannya berulang kali. Sayangnya ia harus terjebak di antara mereka. Dan semua itu karena Dosennya.

"Pak saya mau pulang!" bisik Faya setengah merengek saat ia dan Dirga kembali duduk di tempat mereka semula.

Jika saat ini Dirga dalam kondisi yang baik dan normal. Mungkin ia akan tersipu dengan jantung berdebar kencang karena tindakan Faya yang begitu tiba - tiba berbisik tepat di telinganya, hingga hembusan nafasnya menyapu daun telinganya dan membawa perasaan geli untuknya. Sayangnya kondisi dan suasana hatinya sedang buruk, hingga hanya ada rasa kesal dan emosi yang ia miliki saat ini.

"Kamu pikir hanya kamu yang ingin pulang? Saya juga ingin pulang!" Balas Dirga dengan nada kesal

Faya yang mendengar itu lantas mencebik bibirnya. Yang benar saja. Seharusnya saat ini ia yang marah, bukan malah dosen pembimbing yang penyakit sintingnya kembali kambuh. Dalam hati Faya terus memaki dan mengdumel dengan sikap Dirga yang membuatnya sakit hati dan tersulut emosi. Bagaimana bisa ia melampiaskan kekesalan dan kemarahannya padanya padahal objek yang membuatnya marah dan kesal ada di hadapannya saat ini. Jika tau pada akhirnya seperti ini, mendingan ia tidak perlu peduli dengan dosennya tadi.

.
.
.
.
.

TBC

Written on Des 13th, 2019

Nona Goblin is Mine [Tahap Terbit]Where stories live. Discover now