Sawah Besar: Kamis, 14 April 2039

50 4 0
                                    


Novi baru selesai mengajar matematika di SMA tempatnya dulu belajar. Hari ini jadwalnya cukup padat karena harus mengajar empat kelas. Namun seperti biasa, ia tidak terlalu keberatan. Ia tengah menunggu suaminya mengantar, tetapi bukan untuk pulang. Ia hendak bertemu psikiaternya pada sore itu, tapi hendak mampir ke tempat lain terlebih dahulu.

Seperti biasa juga, di hari itu siswa-siswi Novi tidak terlalu memerhatikan pelajarannya. Hanya beberapa siswa-siswi di kelas bagian depan yang mendengarkan; sisanya entah tertidur atau memainkan gawai di belakang kelas. Novi tak terlalu peduli, dan tetap mengajar. Toh, dulu waktu masih SMA, ia pun juga selalu memainkan gawai. Anggaplah siswa-siswi nakal itu sebagai diriku dulu, senyumnya dalam hati.

Hari ini hari yang spesial untuk Novi. Hanya sekali setahun ia mampir ke Kalibata, itu pun bukan untuk mampir ke satu makam spesifik, melainkan sebuah monumen besar. Ia sudah meminta suaminya membawa rangkaian bunga, dan ia sendiri juga sudah menyiapkan rangkaian doa Bapa. Sebuah ritual kecil yang ia laksanakan di sore hari, sekali setahun, yang bukan di gereja pada hari Minggu.

Setelah beberapa menit menunggu, gawainya berdering. Novi menjawab panggilan dari suaminya, yang sudah menunggu di depan sekolah. Ia pergi ke luar sekolah, dan memasuki mobil suaminya.

Sebuah kebanggan bagi Novi, ketika ia melihat gawainya, bahwa dulu kerjaannya hanya memecahkan permen digital. Sekarang kegemaran itu sudah tidak pernah ia lakukan lagi, pun juga dengan kebiasaan menggigit kuku jemarinya. Tiap kali ia mengenang masa remajanya, tiap kali itu juga ia menyadari betapa dirinya sudah sangat banyak berubah. Kini ia seorang guru, dan berinteraksi dengan ribuan murid dalam tahun-tahunnya. Ia tak pernah menyangka, bahwa ia akan menjadi pekerja sosial seperti saat ini. Bahasa dan budaya manusia lain begitu rumit dan aneh untuknya, namun kini ia mengerti. Hanya saja, ia tetap perlu ke psikiater tiap bulannya demi obat dan mencurahkan hati.

Setelah sampai di Kalibata, Novi turun sendirian sambil membawa rangkaian bunga dari suaminya. Suaminya juga sudah cukup mengerti bahwa ritual ini adalah ritual pribadi istrinya, sehingga ia tidak perlu ikut campur dalam doa istrinya. Kadang Novi pun bersyukur mendapatkan suami yang pengertian—bahkan kadang Novi bersyukur bisa mendapatkan suami, dengan keadaan psikologis dirinya yang kurang dipahami orang.

Di depan monumen besar itu, Novi menatap. Monumen itu sudah agak usang, namun masih terawat. Rangkaian bunga yang Novi lihat di depan monumen itu lebih sedikit dibandingkan tahun sebelumnya. Dipikir-pikir, rangkaian bunga untuk monumen itu memang semakin sedikit tiap tahunnya. Kejadian pada tahun 2014 semakin tidak relevan di masyarakat, namun masih sangat relevan untuk diri Novi.

Novi menaruh rangkaian bunga di bawah deretan nama tertentu. Dalam deret itu, terdapat nama Sarah Nur Syahbani, Ratu Diva Manik, dan Robbi Babullah. Ia menatap kedua nama itu lama, kemudian berdoa yang tidak kalah lamanya.

Dengar seluruh angkasa raya memuja

Pahlawan negara

Nan gugur remaja di ribaan bendera

Bela nusa bangsa

Kan kukenang wahai bunga putra bangsa

Harga jasa

Kau cahaya pelita

Bagi Indonesia merdeka

Tahun-tahun berlalu, namun air mata yang keluar masih sama derasnya.

Seusai berdoa, Novi kembali kepada suaminya. Seperti biasa, suaminya berbasa-basi, menanyakan proses doa dan perasaan Novi. Novi menjawab seadanya, seperti biasa. Namun bekas aliran air mata tetap dapat disadari oleh suaminya. Suaminya hanya tersenyum, dan kemudian mengantarkan Novi ke Matraman untuk bertemu psikiaternya.

Selama perjalanan, Novi mengenang masa lalu. Ia mengenang Sarah. Ia mengenang Diva. Ia mengenang Robi. Kenakalan dirinya, yang disambut oleh Diva, yang disaksikan oleh Robi, dan yang disudahi oleh Sarah. Ia mengenang petualangannya memecahkan permen digital, mengerjakan soal matematika, menyaksikan kematian Diva, kemudian mendengar kematian Sarah serta Robi. Tiga hari bersama teman-teman, menerjang kematian, bertemu berbagai macam wajah, yang diakhiri dengan berita terbesar dalam sejarah dunia abad ke-21. Butuh bertahun-tahun bagi dirinya, agar perlahan mengerti apa yang terjadi, untuk kemudian disambut dengan amarah, kesedihan, lalu pemakluman. Namun hingga kini, Novi tetap bertanya: apakah air matanya mengandung amarah, kesedihan, pemakluman, atau ketiganya?

Begitulah hidup, ujar Novi dalam hati, menenangkan dirinya. Hidup memang tak dapat ditebak. Kita bisa punya tujuan hidup, namun kita tidak tahu apakah hidup punya tujuan yang sama dengan kita. Ketimbang egois melawan laju yang dibuat oleh hidup, seharusnya kita menghormati laju itu, dan mengerti kenapa hidup hendak melaju ke arah yang mungkin tidak kita setujui. Andai aku dapat mengerti lebih awal dan menghormati lebih dalam, sesal Novi dalam hati.

Sesampainya di klinik psikiaternya, Novi turun bersama suaminya. Seperti biasa, mereka menunggu giliran. Bisa dibilang bahwa Novi beruntung berkenalan dengan psikiaternya, karena selama ia berkenalan dengan berbagai psikolog dan psikiater, orang inilah yang paling mengerti keadaan Novi. Mungkin karena ia mempunyai latar belakang budaya yang sangat berbeda dengan yang ada di Indonesia, atau mungkin memang psikolog dan psikiater seharusnya sepintar dan sepeka orang ini.

Ketika Novi melihat orang keluar dari ruangan psikiater, Novi tahu bahwa itu sudah gilirannya.

"Silakan masuk, Nyonya Novi beserta suami," ujar psikiater di dalam ruangan tersebut. Psikiater itu seakan-akan sudah tahu Novi menunggu dengan sabar sedari tadi.

Novi masuk ke ruangan psikiater. Dalam sekejap, ia menenang, malah bersyukur, dapat kembali melihat psikiater berkulit legam dan bertubuh besar itu. Seorang raksasa yang lemah lembut, panggilan Novi untuk sang psikiater.

"Selamat sore, Pak Ramiel," ujar Novi lembut.

"Selamat sore, Nyonya Novi. Apa kabar?" ujar psikiater itu, tak kalah lembut dari Novi.

"Saya habis dari makam pahlawan."

"Acara tahunan Nyonya?"

"Benar, Pak."

"Ah, baguslah. Silakan duduk."

Novi duduk berhadapan dengan psikiaternya. Ia memegang tangan suaminya, dan dengan andal menatap kedua mata psikiaternya.

[[TAMAT]]


Lagu "Mengheningkan Cipta" karya Truno Prawit.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now