Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4 [Tambahan]

211 15 0
                                    

Diva berjalan, dan berjalan. Hingga akhirnya, ia ambruk. Kakinya terlalu sakit untuk digerakan, dan sakitnya terlalu parah untuk dirasakan. Ia kehausan dan kelaparan, dan seragamnya basah lagi karena keringat.

Seseorang di dalam mobil yang tengah berjalan melihat ambruknya Diva dan segera menepi. Ia memberhentikan mobilnya dan membuka pintu untuk melihat keadaan gadis yang ambruk itu. Dengan gawainya, ia menyalakan lampu kilat dan mendapatkan seorang siswi SMA dengan seragam bersimba darah. Ia tak tega. Ia membuka pintu belakang mobilnya lebar-lebar dan mengangkat gadis itu untuk membawanya masuk ke dalam.

Dengan kesadarannya yang tersisa, Diva menyadari ia sedang diangkat. Oleh seorang wanita, sepertinya, ketika ia merasakan dada orang tersebut. Ia berusaha melawan, tetapi ia tak punya tenaga lagi. Ia berusaha berteriak, tetapi tenggorokannya terlalu perih untuk mengeluarkan suara. Wanita yang mengangkatnya menyadari, dan menjelaskan, "Tenang, dek. Tenang."

Setelah Diva berhasil diangkat ke dalam mobil, ia merasakan empuknya tempat duduk mobil tersebut. Sejenak, ia dapat merasakan kelembutan, dan ia menenang. "Kenapa kamu sendiri?" ia dengar. "Mau ke mana kamu?" dengarnya lagi.

"Apartemen Tamansari," bisik Diva. Yang keluar dari mulutnya hanya angin, dan wanita itu tak dapat mendengar kata-kata yang keluar. Wanita itu menebak, dan Diva mengangguk.

"Saya akan mengantarmu ke sana," wanita itu berusaha membantu. Diva hendak bertanya banyak hal, tetapi fisiknya tak mengizinkan. "Kamu haus?", dengar Diva. Diva mengangguk. Ia didudukkan oleh wanita itu, dan wanita itu mengambil botol air dan membantunya minum. Diva yang tak pernah benar-benar meminum air kini meminumnya layak anggur merah yang rajin ia teguk ketika bermalam dengan Arli.

Kesadaran Diva kembali, dan matanya samar melihat sosok wanita yang tengah membantunya. Wanita itu sepertinya pegawai kantoran—mungkin manager atau direktur, dengan parasnya yang begitu rapi. "Saya Mawar. Saya kerja dekat sini," dengar Diva lagi. "Kamu yakin mau ke sana? Lebih baik saya antarkan kamu ke rumah sakit terdekat. Atau ke rumah saya," dengarnya lagi. Diva menggeleng lemah, tak mau. "Orangtuamu di sana?" dengarnya lagi. Diva membentuk "Kakak" dengan mulutnya yang tak dapat mengeluarkan suara. Wanita bernama Mawar itu mengangguk.

Perlahan, Diva berusaha berbaring. Mawar menyadari, dan mengambil bantal di barisan duduk paling belakang. Ia menaruh bantal kecil di antara kepala Diva dan kursi mobil. Ia menutup pintu belakang mobilnya, dan kembali ke pintu pengemudi. Ia menyalakan mobilnya kembali, dan lampu mobil kembali menerangi lingkungan sekitar.

Mobil itu melaju lambat dan hati-hati. Mawar tahu di mana Apartemen Tamansari itu, dan berusaha mengajak siswi SMA itu berbicara. Ia menanyakan banyak hal: sekolah di mana, tinggal sama siapa saja, ada kenalan siapa saja. Ia berusaha untuk tidak menanyakan apa yang telah terjadi, karena takut mengembalikan trauma siswi tersebut. Ia tak mendapat jawaban dari siswi itu, karena siswi itu terlalu lemah untuk menjawab dengan suara. Mungkin ia sudah tertidur, pikirnya, ketika melirik lewat cermin.

Mawar yakin bahwa siswi itu tak boleh kehilangan kesadaran. Tidak sekarang, ketika ia belum dapat membantunya. Akhirnya ia bercerita tentang dirinya.

"Saya baru dari kantor. Tadi kantor sedang gempar-gemparnya. Tahu lah, kenapa. Ada banyak hal yang perlu saya urus. Kamu tadi bilang kamu tinggal dengan kakak ya? Yah, saya sih tinggal sendiri. Karena kerjaan. Di Jakarta Timur."

Mawar kembali melirik ke cermin. Karena terlalu gelap, ia menyalakan lampu. Ia dapat melihat gadis itu agak terganggu dengan cahaya yang tiba-tiba muncul, dan bersyukur gadis itu masih punya kesadaran. Ia hendak lanjut bercerita, minimal agar gadis itu bisa tetap sadar dengan mendengar. Hanya saja, ia terbata-bata, tak terlalu tahu mau berbicara tentang apa.

"Saya... sebenarnya saya juga tidak menyangka ini semua terjadi. Tapi semua telah terjadi. Besok saya takkan kembali ke kantor pastinya. Lebih baik menunggu hingga suasana kembali seperti semula. Kamu sendiri bagaimana, dik? Ah... tak perlu menjawab. Kamu istirahat saja. Saya temani kamu sembari jalan.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now