Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1

198 22 1
                                    

Sarah sedang berada di atas karpet di ruang tengah. Ia tengah memeluk boneka bebeknya sambil menonton televisi. Jari mungilnya meraba-raba karpet untuk mencari pengendali jarak jauh televisi. Rambutnya tergerai sebahu, membulatkan pipinya yang juga bulat. Matanya tertuju kepada kelinci yang tengah ia tonton.

Sarah kemudian berdiri, lelah menonton tetapi masih semangat memeluk bebeknya. Ia ke ruangan orangtuanya yang dipenuhi banyak buku, dan menemukan ibunya yang tengah bersantai di atas kasur sambil membaca Dunia Sophie karangan Jostein Gaarder. Sarah mendekati ibunya, kemudian memegang lengan demi menyudahi bacaan tersebut. Ibunya sedikit kaget, tetapi kemudian tersenyum melihat anaknya yang mungil.

"Sasa!" goda ibunya, "Mana bebeknya? Mana, mana? Sasanya mana? Mana, mana? Ciluk, ba!"

Ibu Sarah tergelak, dan meletakkan buku tebalnya di sampingnya di atas kasur. Ia kemudian terduduk dan menggendong Sarah, "Sasa sudah berat ya sekarang! Sebentar lagi mau masuk TK, ya. Sayang, sayang."

Sarah digendong dan dibawa kembali ke ruang tengah. Ibunya kembali menggoda, "Sasa dah tau? Ayah hari ini pulang loh! Sebentar lagi. Coba Sasa dengar di luar: pagarnya dah diketuk belum?"

Sarah berusaha mendengar bunyi aduan logam pagar. Di atas gendongan ibunya, segalanya terasa tinggi dan jauh. Karpet hijau tempat ia tadi menonton televisi kini memperlihatkan corak jelas berwarna kuning dan biru. Ia pun dapat melihat pengendali jarak jauh televisi yang tadi ia cari dengan rabaan. Ia seakan-akan sedang terbang tinggi bersama boneka bebek kesayangannya.

Bunyi pagar masih belum terdengar oleh Sarah, sehingga ia terdiam mengawasi lantai ruang tengah selagi terbang dalam gendongan ibunya. Tak lupa Sarah juga melihat ibunya yang cantik. Ibunya sedang tak memakai kerudung karena sedang di rumah, sehingga rambut lurus bergelombangnya tergerai hingga ke pinggang. Hidungnya pesek, yang menambah manis wajah ibunya yang berkulit cokelat. Sayang, Sarah berkulit langsat seperti ayahnya. Meski demikian, mata Sarah selebar mata ibunya, dan tak sipit seperti mata ayahnya.

Bahkan ketika sedang di rumah, ibunya masih selalu bau obat. Sarah dapat melihat senyum ibunya karena tak perlu khawatir lagi meninggalkan Sarah sendiri ketika ia kerja malam hari nanti di UGD: ayah Sarah akan pulang.

Ibu Sarah kemudian membawa Sarah ke dapur. Di sana, Sarah melihat dapur mungil dan kulkas yang juga mungil. Di atas kulkas itu, ada beberapa buah sirsak yang menjadi kesukaan Sarah ketika dibuat menjadi jus. Sarah melihat pemanggang yang tengah menyala, dan ibunya memang sedari tadi menunggu agar kue bolu untuk ayahnya mengembang.

Sarah mendengar bunyi pagar. Ibunya pun juga mendengar. Sarah melihat wajah ibunya, dan tersenyum ketika melihat ibunya juga tersenyum. "Itu ayah!" bisik ibunya, "Sambut ayah sana, sayang!"

Ibu Sarah menurunkan Sarah dari gendongannya, dan Sarah lekas berlari kecil menuju ruang tengah kemudian ruang tamu. Ia menggapai gagang pintu rumah dan membukanya. Langit sudah menjingga ketika ia keluar, dan awan bertebaran di mana-mana. Ia menengok ke sana ke mari: ke halaman kecil rumahanya, kemudian ke pagar rumahnya.

Sarah tidak menemukan ayahnya di seberang pagar; pagar itu terlalu tinggi untuk tubuh mungilnya melihat ke baliknya, tetapi pagar itu terus berbunyi. Ibunya kemudian keluar, dan Sarah menengok kepadanya. Setelah beberapa saat berjalan santai, ibunya membukakan pagar. Jantung Sarah berdebar, mencoba mengingat-ingat wajah ayahnya ketika terakhir kali ia bertemu.

Setelah pintu pagar terbuka, Sarah melihat ibunya menuntun suaminya dengan girang.

Hanya saja, setelah beberapa saat, Sarah mengamati ayahnya. Kulitnya benar putih kemerah-merahan. Matanya benar lebar dengan hidung mancung dan beberapa helai rambut pirang. Seperti yang Sarah ingat. Hanya saja, Kepala ayahnya hilang setengah, dan badan atasnya pun juga hilang setengah. Sarah mengamati dengan cermat, dan menyaksikan isi badan ayahnya: otak, rusuk, paru-paru, hati, dan tenggorokan. Ketika ayahnya mendekat, Sarah melihat ayahnya tersenyum dengan bibir dan rahang yang tinggal setengah.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now