Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 1

264 25 4
                                    

Bau bacin tercium terlalu menyengat, bahkan sewaktu masih di dalam mobil. Itu kali pertama bagi semua orang dalam mobil mencium bau tersebut. Mata mereka pedih dan hidung mereka sakit, dan bau itu memusingkan kepala serta melemaskan tubuh.

Pemandangan pertama di gerbang sekolah membuat Jaka segera membuka pintu dan merasuki seisi mobil dengan bau bacin. Hal pertama yang Jaka lakukan adalah memuntahkan ludah dan asam lambung di pinggir trotoar. Pemandangan rekan carakanya yang digerogoti semut dan belatung terlalu mencekam baginya. Sarah yang melihat dari balik jendela hendak keluar pula dari mobil karena bau bacin dan pemandangan mayat Danu. Hanya saja, Sarah menahannya. Robi hanya terdiam dalam mualnya, sedangkan Novi hanya meringis karena bau bacin.

"Masya Allah," suara Jaka bergetar. Meski ia tak terlalu dekat dengan rekan carakanya itu, tak bisa dipungkiri bahwa ia tak dapat melihat rekannya membusuk sedari kemarin.

Akhirnya, Sarah dan yang lain turun dari mobil. Bau bacin itu semakin menyengat dan membuat mata semua siswa-siswi sakit dan berair. Mereka tak berani mendekati jasad Danu, tetapi tetap menyaksikan bagaimana Jaka secara perlahan melangkah ke arah jasad itu dan berlutut.

Dalam getaran yang amat hebat dan suara yang setengah keluar, Jaka bertitah, "Kalian masuk ke dalam. Biar saya yang ngurusin."

Para siswa menurut, dan melangkah menjauh. Sarah ragu, "Pak Jaka? Bapak nggak kenapa-kenapa kan?"

Jaka tak menjawab. Ia hanya memandangi Danu. Ia bahkan tak bergerak dan tetap dalam keadaan berlutut. Sarah memastikan sekali lagi; "Pak Jaka," dan Jaka masih pula tak menjawab. Sarah memutuskan untuk menjauh, sambil menggiring Novi berjalan.

Novi terus menerus menggigit kukunya. Sarah menyadari kuku Novi hampir habis dan ia hampir melukai jemarinya sendiri. Sarah berusaha menjauhkan gigi Novi dari jemarinya, tetapi Novi membalas dengan hebat dan terus menggigit jarinya. Sarah sebenarnya mengerti, tetapi tidak dapat membiarkan hal tersebut. Ia memandang ke arah Robi, "Rob, pegang tangan Novi yang satu lagi."

Robi berpikir sejenak sambil mengamati mata Sarah, kemudian mengerti maksudnya. Ketiga siswa itu kini memasuki sekolah hancur sambil berpegangan tangan.

Matahari masih belum terlihat, tetapi langit mulai cerah. Sekolah itu masih sama hancurnya seperti kemarin, tetapi kini ditambah juga dengan bau bacin di mana-mana.

Di kejauhan, Mas Panca masih ada. Mungkin juga ditemani belatung dan semut seperti Danu, pikir Sarah. Reruntuhan yang menutupi Pak Arli juga masih seperti sediakala.

Sarah telah mengonfirmasi bahwa Mas Panca memang tersisa bagian atas saja. Tangan yang sempat ia lihat kemarin ternyata adalah tangan Mas Wawan, caraka yang sering menemani Daffa dan Bejo merokok di sudut kantin. Guru yang kemarin tak teridentifikasi adalah Bu Salma, guru Bahasa Inggris yang terkenal galak bukan main. Robi yang membenci Bu Salma bahkan iba melihat bagaimana bola mata guru tua itu sudah habis dimakan belatung. Sumpahnya dulu saat dimarahi Bu Salma akan kematiannya kini terasa bukan main salahnya—apalagi ketika Robi mengenang bagaimana melototnya Bu Salma adalah kenangan terburuknya di kelas Bahasa Inggris.

Sarah tak dapat melihat Diva di mana pun. Ketiga siswa itu mencari ke mana-mana: koridor sekolah, sudut-sudut yang masih ada, dan ruang-ruang yang masih utuh. Mereka tak menemukan teman mereka. Pagi semakin terang, matahari mulai terbit, dan mereka tak kunjung menemukan Diva.

Biru langit mulai cerah, dan Diva tak kunjung terlihat. Sarah mulai memikirkan ulang ucapan Jon, dan menimbang-nimbang keperluan mereka untuk terus mencari.

"Rob."

"Kenapa?"

"Mungkin Diva udah..."

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now