[Tambahan] Matraman: Selasa, 15 April 2014

158 11 0
                                    

"Kamu yakin?"

"Iya, Mbak. Saya takut dia khawatir."

"Mau saya antarkan?"

"Nggak perlu, Mbak. Saya bisa jalan sendiri. Nggak terlalu jauh kok."

Mawar masih rebah di atas kasur. Rambutnya masih berantakan, tetapi tak dapat terlihat dengan satu lilin yang dibawa oleh Diva. Kesadarannya masih belum benar-benar hadir, tetapi ia menyadari Diva yang sudah kembali memakai seragamnya yang lusuh dan robek di mana-mana—meski tadi malam Mawar meminjamkan bajunya.

"Memangnya pacarmu itu tinggal di mana?"

"Gondangdia," bohong Diva.

"Masih agak jauh kalau jalan kaki, Diva. Saya antarkan saja."

"Nggapapa, Mbak. Udah biasa jalan kaki."

Mawar menyipitkan mata, berusaha melihat Diva di remang-remang satu lilin. Ia menghembuskan napas, "Ya sudah. Tapi kamu sarapan dulu. Yuk."

"Saya udah sarapan, Mbak. Mbak lagi yang sarapan," balas Diva, yang kemudian disambut oleh lirikan Mawar ke nakas putihnya. Di atasnya terdapat piring berisi telur ceplok, kentang tumbuk, dan bakso kornet. Mawar terkesima.

"Kamu masak sendiri?"

"Iya, Mbak."

Baru ketika Mawar dengan sengaja menghirup udara dalam-dalam dan membaui sarapannya, ia dapat tersadar secara penuh. Hanya dari baunya, ia langsung lapar.

"Rapi sekali kamu masaknya. Masa kamu lebih pintar masak dari saya?"

"Iya, harusnya tadi malam saya aja yang masak."

Keduanya terkekeh. Diva melanjutkan, "Mau saya suapin, Mbak?"

Mawar tersenyum, "Boleh."

Perlahan dan lembut, Diva menyuapi Mawar di atas tempat tidur. Cahaya lilin terlalu remang untuk Mawar benar-benar bisa menerawang, dan sesungguhnya ia berterima kasih karena Diva menyuapinya. Begitu pagi, pikir Mawar, matahari saja belum terbit.

Persis setelah selesai mengunyah, Mawar berkata, "Powerbank-nya kamu saja yang bawa. Saya bisa ngecas di mobil kok."

"Nggak perlu, Mbak. Sinyalnya udah nggak ada," jawab Diva sambil menyuapi.

"Benar-benar tidak ada?"

"Iya. Padahal tadi malam masih ada."

"Aneh ya."

"Iya."

"Maksud saya, yang aneh justru kenapa tadi malam masih ada. Semua tempat saja mati lampu, kan?"

"Ah, iya ya, Mbak. Mungkin di lokasi menara satelitnya, mereka pake generator?"

"Mungkin. Terus habis bensin kayaknya pagi ini, jadi mati total."

"Mungkin."

"Terus, bagaimana kamu bisa ngubungin pacar kamu?"

"Saya ke rumahnya aja."

"Memang dia sudah pasti di rumah?"

"Saya udah janji sama dia, sebelum pisah."

"Oh, okelah, Diva. Saya harap kamu cepat ketemu dia. Dia pasti khawatir sekali sama kamu."

"Iya, Mbak. Saya juga khawatir."

Suap itu berlanjut hingga sarapan Mawar habis. Setelah itu, Diva meminta izin keluar kamar dan membersihkan piring dengan tisu basah dari tas Mawar untuk ditaruh kembali ke dapur. Setelah bersih, Diva kembali menemani Mawar di sampingnya; ia terduduk di kursi kecil yang ia seret dari ruang tengah.

"Mbak, saya pamit dulu ya."

"Diva."

"Kenapa, Mbak?"

"Kamu yakin?"

"Yakin, Mbak."

"Ya sudah. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk ke sini lagi. Saya akan di sini terus."

"Bagaimana dengan keluarga Mbak?"

"Tidak apa, Diva. Mereka pasti mengerti."

Diva tersenyum, "Baiklah, Mbak. Makasih. Makasih banyak."

"Saya juga terima kasih, Diva," Mawar tersenyum balik.

Setelah berpelukan dan curi pandang, Diva keluar dari kediaman Mawar. Matahari masih belum terbit, jalanan begitu sepi, dengan langit penuh bintang. Ia melakukan perjalanan panjang kembali ke sekolahnya.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now