Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 4

108 16 3
                                    

Sarah tengah menangis di ruangan tengah rumahnya. Tangan kanan boneka kesayangannya copot. Ia menjerit memanggil ayah dan bundanya, namun bundanya sedang tidak di rumah. Ayah Sarah mendengar jeritannya dari teras rumah. Ia menyudahi isapan kreteknya dan masuk ke dalam.

Lintang melihat Sarah dengan bonekanya. Anaknya menangis, tetapi tanpa air mata. Lintang terkekeh, dan berpikir bahwa Sarah sudah cukup jago dalam mencari perhatiannya dengan menangis. Sayang saja belum cukup jago untuk menangis sungguhan.

"Sasa kenapa?" tanya Lintang, meski ia tahu apa yang terjadi kepada anaknya.

"Molly, yah! Molly!" jerit Sarah.

Lintang terdiam sebentar, "Coba Sasa perbaikin sendiri."

Sarah melihat ayahnya, lalu merengek, "Ayah, Molly!"

Lintang tersenyum, "Coba."

Sarah menekuk seluruh otot wajahnya, dan bersiap menjerit. Lintang melanjutkan, "Tangannya Molly coba dipasang lagi. Kan ada lubangnya tuh. Masukkin tangannya ke lubang."

Sarah masih menekuk wajahnya, tapi ia mencoba.

"Kebalik, sayang," komentar Lintang ketika Sarah memasukan jemari bonekanya ke dalam lubang sendi di ketiak bonekanya. Sarah tetap menekuk wajahnya, tetapi menuruti ayahnya.

Sarah mencoba sekali, dan gagal. Ia mengeluh, "Keras, yah!"

Lintang tersenyum, "Diobok-obok coba."

Sarah mencoba mengerti. Ia memutar-mutar pangkal tangan bonekanya. Tiba-tiba, tangan itu tersambung kembali ke badan. Sarah melongo, dan Lintang terkekeh.

"Tuh, Sasa bisa sendiri."

"Tapi, tapi—"

"Kalau Sasa belajar, Sasa pasti bisa."

"Ayah!" rengek Sarah.

Lintang mengelus kepala anaknya yang mungil, "Sasa udah gede, sayang. Sasa udah bisa mandiri. Tapi supaya bisa mandiri, Sasa harus belajar."

"Kenapa?"

"Biar Sasa bisa kayak ayah."

"Kayak ayah?"

"Iya."

"Jadi tentara? Nggak mau!"

"Bukan jadi tentara, sayang. Tapi mengabdi kepada negara."

"Sasa nggak ngerti."

"Kalau Sasa belajar, Sasa bisa jadi pinter. Kalau Sasa pinter, Sasa bisa nolongin orang lain. Kalau Sasa pinter, Sasa bisa nolongin ayah."

"Jadi tentara?"

"Sasa mau jadi tentara?"

"Nggak."

"Jadi dokter mau?"

"Mau!"

"Nah, Sasa juga harus belajar."

"Tapi yah, dokter emangnya mengabdi kepada negara?"

"Jelas, dong."

"Kayak bunda?"

"Iya, kayak bunda."

"Bunda mengabdi kepada negara dong?"

"Iya, sayang."

"Emang kenapa harus mengabdi kepada negara, yah?"

"Biar Sasa bisa nolongin orang lain. Biar Sasa bisa nolongin ayah sama bunda. Sasa mau nolongin ayah sama bunda nggak?"

"Mau!"

"Nah, makanya Sasa harus belajar. Biar Sasa bisa nolongin ayah sama bunda. Biar Sasa bisa nolongin orang lain. Biar Sasa bisa mengabdi kepada negara. Belajar itu mengabdi kepada negara. Belajar itu nolongin orang lain. Belajar itu nolongin ayah sama bunda. Jadi, Sasa, belajar yang benar ya."

"Iya, yah!"

[Belajar yang benar, Sarah.]

[Belajar yang benar.]

[Belajar demi mengabdi kepada negara.]

[Belajar demi menolong orang lain.]

[Belajar demi Diva.]

[Belajar demi Novi.]

[Belajar demi Robi.]

[Belajar demi ayah dan bunda.]

[Belajar demi Sari.]

[Belajar demi Lintang.]

[Belajar demi Ujian Nasional.]

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now