Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 4

182 20 1
                                    

"Robi. Ayo."

Ajakan Sarah tidak terdengar oleh Robi. Yang Robi dengar hanyalah kata-kata tentara di pagi hari: "Malingsia". Ia berusaha melupakan semua makian tentara-tentara tersebut. Tapi nyeri pada berbagai titik di wajahnya membujuknya untuk terus mengingat. Pencuri, pembunuh, pemerkosa, penghancur, semua telah ia dengar. Robi membela dirinya dengan berpikir, dan berpikir. Ia saja tidak tega membunuh cecak yang menakut-nakuti Sarah. Ia saja tidak tega menilap uang yang diberikan orangtuanya untuk membayar buku-buku pelajaran, meski uangnya berlebih dan memang diniatkan sebagai uang jajan tambahan dari orangtuanya. Ia memikirkan pembelaan itu pada saat ia dituduh, dan pada saat ia mengingat kembali tuduhan itu.

"Robi," tegur Sarah sekali lagi.

Robi terbangun dari belaannya, "Iya."

"Sekalian, kita ajak Novi," ujar Sarah, sambil menepuk pundak Robi. Ajeng menunggu di depan mereka, bersama dengan tiga orang tentara.

"Iya," ucap Robi, tanpa menatap mata Sarah.

Ajeng akan pergi untuk bertugas. Entah apa tugasnya, Sarah tidak tahu. Sarah hanya mendengar sekilas salah satu tugasnya adalah kembali ke laut. Katanya sekalian memantau proses perizinan kapal-kapal yang ingin melabuh. Sarah hanya berharap salah satu kapal itu adalah pesiar yang dinakhodahi oleh ibu Novi. Ajeng juga memerintahkan dua tentara yang dikenal Sarah, yakni Aziz dan Edo, untuk menemaninya dan teman-temannya mengungsi di kediaman Ajeng di Menteng. Sekilas, Sarah berharap bahwa Jon dan Jaka juga ikut. Hanya saja, Sarah dapat mengerti jika mereka tidak boleh, karena nama mereka berdua tidak disebutnya saat Ajeng menanyakan siapa saja yang ingin diajak Sarah untuk mengungsi.

Setelah mengarungi koridor-koridor rumah sakit, Sarah dapat melihat Aziz dan Edo yang bergabung dalam barisan tentara Ajeng. Kemudian, Sarah diajak Ajeng untuk mengunjungi bilik tempat Novi dan Jaka berada. Saat sampai di bilik itu, Sarah hendak menahan tangis ketika melihat Novi. Ia juga menahan diri untuk lari dan memeluk temannya itu, mengingat Novi tidak senang dengan sentuhan dahsyat yang dilakukan secara tiba-tiba.

"Novi," panggil Sarah. Ia tidak mengekspektasikan Novi untuk menengok. Dan benar saja, Novi tidak menengok.

Novi terdiam, melamun. Sarah dapat melihat mata Novi bengkak karena menangis. Jaka yang sadar kehadiran Sarah dan Robi langsung menatap mereka berdua.

"Neng Sarah!" senyum Jaka; "Ini neng Novi nggak mau makan!"

Sarah segera melihat makanan apa yang sedang disuapkan oleh Jaka. Ternyata bubur. Jelas Novi tidak mau, pikir Sarah, karena Novi tidak suka tekstur bubur.

"Bubur ya? Novi emang nggak suka, Pak," Sarah membalas senyuman.

"Terus harus dikasih makan apa, dong?" keluh Jaka; "Bang Jon juga lagi sibuk lagi."

"Permisi," ujar Ajeng dari belakang Sarah, "Anda penanggungjawab anak ini?"

"Oh, ibu..."

"Ajeng Tirtayasa."

"Oh! Ibu jenderal! Maaf, bu, saya kira siapa."

"Tidak apa, Pak. Saya tantenya Sarah. Saya dengar anak ini temannya. Saya mau ajak mengungsi bareng keponakan saya."

"Oh, iya! Iya! Tidak apa, bu! Silakan, silakan."

Jaka berdiri dan memberi hormat dengan menaruh kedua tangannya di depan pusarnya, sambil menunduk-nunduk. Ajeng hanya tersenyum, "Bagaimana, Sa?"

"Ya udah, tante. Langsung ke Menteng aja," ujar Sarah; "Novi, yuk."

Novi diam saja. Seperti biasa. Sarah mengulang dua kali lagi. Novi masih diam, malah seperti akan menangis. Sarah ragu, tetapi ia harus memaksa Novi. Akhirnya, ia mengangkat Novi dengan hati-hati. Novi merespon dengan teriak lantang.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now