Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 2

72 10 0
                                    

Seorang wanita Tionghoa paruh baya sedang berada di dalam mobil. Ia menatap keluar: rumah istana seorang jenderal. Ia berkeringat, meskipun dihantam dinginnya udara AC mobil. Napasnya masih belum benar-benar teratur semenjak dini hari tadi, ketika akhirnya ia dapat melabuh dan mendapat informasi mengenai anaknya.

Wanita itu mengingat kembali pagi hari yang begitu panjang, yang masih tetap pagi setelah ia sendiri telah melewati berbagai macam hal. Tak ada taksi yang lewat selama puluhan menit, hingga ia menyogok seorang tentara untuk mengantarnya pulang dengan motor. Di rumahnya, ia tidak menemukan siapa-siapa. Ia justru menemukan bahwa ia telah kecurian sejumlah uang tunai, serauk perhiasan, dan salah satu mobilnya. Ia hafal sekali, bahwa hanya ada seorang suster dan sopir yang tinggal di rumahnya, selain anak satu-satunya yang jelas tak dapat mencuri apa-apa. Dalam sekejap, ia mungkin telah kehilangan miliaran Rupiah di dini hari itu. Hanya saja, bukan itu yang membuat napasnya tidak teratur dan keningnya mengeluarkan keringat dingin. Hanya seorang yang ia pikirkan saat itu: anaknya, Novi Tju.

Patricia ingat sekali perkataan seorang tentara, bahwa Novi Tju tengah berada di dalam perlindungan yang datang langsung dari Jenderal Ajeng Tirtayasa—bersama dua anak lain bernama Sarah Nur Syahbani dan Robbi Babullah. Ia tahu siapa Sarah, dan sebenarnya sangat bersyukur karena Novi berada dengan orang yang lebih bisa diandalkan ketimbang suster yang baru saja mencuri hartanya bersama sang sopir. Namun di mana mereka dilindungi? Ia tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah bahwa sang jenderal juga tinggal di Menteng, dan secara teknis merupakan tetangganya. Ia tahu tempat tinggal sang jenderal, dan sekarang ia berada persis di depannya.

Patricia keluar dari mobil, menuju gerbang rumah istana itu. Gerbang itu jelas terkunci, dan lucunya tak terlihat ada yang menjaga. Ia mencoba mengetuk, melambaikan tangan ke kamera keamanan, dan berbicara lewat pengeras suara di samping pos satpam rumah itu. Tak ada yang terjadi. Sepuluh menit berlalu, dan seharusnya ia mendapatkan tembakan peringatan atau semacamnya karena sudah mengusik rumah seorang jenderal. Namun pada kenyataannya, ia hanya kelelahan mencoba mendapatkan perhatian. Ia tahu listrik menyala di rumah itu, karena pengeras suara di dekat pos satpam juga menyala, bersamaan dengan lampu merah kecil di kamera keamanan yang ia sadari. Tak mungkin juga bahwa tak ada penjaga yang tertidur, kalau memang mereka tengah menjaga kediaman seorang jenderal.

Hingga akhirnya, Patricia berkesimpulan bahwa rumah itu kosong. Ia berpikir keras. Ia merapikan seragam nakhodanya yang belum ia lepas, sebagai perilaku untuk menenangkan diri. Apakah anaknya dan Sarah tengah berada di bunker? Jikalau demikian, maka ia harus jauh-jauh ke kota Bogor atau Bekasi. Tapi jika tidak ada, maka harus ke kota lain, dan ia akan menghabiskan bensin serta kesabaran untuk menjelaskan kepada tentara yang sedang patroli akan ke mana dirinya. Patricia berpikir keras, sekali lagi: jika tidak ada di kedua bunker, lalu di mana lagi anaknya akan berada?

Akhirnya, Patricia menemukan dua tempat lagi. Tempat itu di Depok, yang seingatnya, merupakan tempat tinggal Sarah. Satu lagi adalah Pasar Baru, sekolah anaknya. Ia lebih yakin Novi sedang bersama Sarah di Depok ketimbang di Bogor maupun Bekasi. Namun, Pasar Baru jauh lebih dekat.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now