Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 3

360 30 1
                                    

Robi bertanya kepada Arli, "Pak, saya masih bingung soal perkalian matriks yang ini. Kalau matriksnya begini, jadinya gimana ya pak?"

Arli menengok ke arah Robi. Ia berhenti menepuk pundak Sarah, yang matanya masih merah karena habis menangis. Gawai Arli dipasangkan pelantang telinga, yang dimaksudkan untuk membuat gawai tersebut menjadi radio kecil. Gawai tersebut menyala sedari satu jam yang lalu, dan disetel ke sebuah kanal berita negara.

Sebelumnya Arli diminta oleh Sarah untuk menyetel gawainya menjadi radio, karena gawai Sarah telah kehabisan baterai dan ia tidak membawa pengisi baterai. Sembari belajar hendaknya mendengar kabar tentang peperangan di Pekanbaru, ujar Sarah.

Sekitar dua puluh menit yang lalu, kanal berita negara yang terjaring oleh gawai Arli menceritakan kegagalan tentara Indonesia menghalau Malaysia. Riau telah menjadi lautan api, dan kerusakan terparah berada di Ranai. Di waktu yang bersamaan, sebelum pagi menjadi siang, tentara Indonesia dipukul mundur hingga ke Medan. Medan mengalami nasib membara yang sama dengan Riau.

Sarah tidak tahu nasib kedua orangtuanya, tetapi Diva tahu mengenai nasib orangtuanya sendiri. Bara api di Medan ternyata mempersatukan kedua orangtuanya kembali, dan kini mereka berada dalam lindungan tentara Bukit Barisan. Meskipun demikian, Diva berhenti tertawa atau tersenyum ringan setelah mendengar kabar itu. Kini Diva tersenyum kecut mendengar pertanyaan Robi yang memecah hening.

"Matriks yang film itu?" balas Novi tiba-tiba, yang sedari tadi memecahkan permen digital. Pandangannya tetap kepada layar gawainya.

"Bukan, yang di bola," ujar Robi.

"Itu hattrick, Rob," senyum Sarah tegar.

"Ha. Ha. Lucu. Banget. Udah, diem aja lu! Nggak tau orang lagi khawatir aja. Mentang-mentang negara lu nggak diserang," Amel sewot.

"Sudah," lerai Arli yang kemudian melihat soal matriks yang disuguhkan Robi, "Kalau matriksnya begini, gampang. Jadi, pertama, kamu hitung x sama a-nya, terus—"

"Perhatian, perhatian, warga Jakarta sekalian. Ini sistem peringatan darurat dari Satuan Radar 216⁴. Sekali lagi. Perhatian, perhatian, warga Jakarta sekalian. Ini sistem peringatan darurat dari Satuan Radar 216. Jakarta akan mendapat serangan udara. Jakarta akan mendapat serangan udara. Bagi para warga Jakarta, segera cari tempat berlindung terdekat. Kami ulangi..."

Pesan itu terulang berkali-kali tanpa henti dari gawai Arli. Semua menengok ke gawai yang terletak di atas meja guru itu. Semua diam.

"Apa?" ujar Novi.

Tak ada yang menjawab.

"Anak-anak..." Arli kebingungan meneruskan kata-katanya. Ia pun dapat melihat anak-anaknya sama bingungnya, dan sama dingin keringatnya. Ia mulai berpikir banyak hal dalam waktu yang singkat itu: adakah ia mendengar suara pesawat tempur, di mana tempat berlindung terdekat, apakah sekolah tempat mereka berada sudah menjadi tempat berlindung yang ideal, apakah sekolah akan diserang, bagaimana cara yang tepat untuk menenangkan anak-anak, bagaimana cara keluar dari sekolah bilamana diperlukan...

"Lebih baik kita ke bawah. Bahaya di lantai tiga," Diva memecah bingung Arli. Arli terkesima, lalu mengiyakan.

"Ayo, anak-anak, kita ke bawah. Ke titik kumpul. Harusnya masih ada beberapa caraka. Setelah itu kita tunggu kabar mengenai bala bantuan," ajak Arli.

"Ayo, Novi," ajak Sarah yang tak berani memegang Novi. Novi tidak menyahut, masih fokus dengan permen digitalnya.

"Kemas barang-barang kalian," ujar Arli lembut. Diva sudah siap dengan tas kecilnya, sedangkan Robi dengan ranselnya. Sarah masih mengurusi ransel Novi, meski sudah siap dengan tasnya sendiri.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now