Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 2

424 29 0
                                    

Robi mengingat kembali bagaimana Bejo, Daffa, dan teman-teman futsal melihatnya ketika mereka bergegas pulang untuk merokok di warung. Tidak hanya mereka saja, Robi juga mengingat kembali bagaimana hampir semua siswa-siswi yang mengenalnya melihatnya agak lama. Mereka semua tak mengatakan apa-apa; hanya melihat Robi lama, seakan-akan sedang menuduh. Kini ia duduk di atas meja, menghadap Sarah yang berada di meja sebelahnya.

Sarah sendiri sedang melihat gawainya, dan mendengar pesan rekaman suara dari ibunyanya melalui earphone. Ibunya tidak pernah meninggalkan pesan seperti demikian; biasanya ia meninggalkan pesan elektronik atau langsung menelepon. Sarah terdiam dengan bibir mengerut.

"Sasa sayang. Maaf bunda tidak sempat menelepon Sasa. Bunda tak mau mengganggu UN Sasa. Ayah sudah lebih dulu terbang ke Riau. Bunda menyusul jam sembilan ini. Alhamdulillah, ayah tidak ditempatkan di garis depan. Bunda minta maaf sekali lagi. Harusnya bunda tidak langsung pergi seperti ini. Bunda mendengar UN di Jawa tidak akan dibatalkan, jadi... Sasa, belajar yang benar ya. Ayah dan bunda akan mengabdi kepada negara. Jangan pernah lupa, sayang, belajar juga merupakan bakti terhadap negara.

"Ayah meninggalkan uang cash di bawah tempat tidur buat tiga bulan. Sebisa mungkin kalau sudah ada dokter yang bisa menggantikan, bunda akan pulang. Sasa belajar yang benar, selesaikan UN-nya ya. Uang untuk SBMPTN dan ujian mandiri juga sudah ditaruh ayah di bawah tempat tidur. Kalau Sasa kesepian, menginap saja di rumah Novi. Ayah dan ibu sayang Sasa. Baik-baik ya, di Jakarta."

Mata Sarah berkaca-kaca. Ia menarik napas panjang, dan membersihkan matanya. Ia menyingkirkan pikirannya tentang kedua orangtuanya, dan menengok ke Novi yang sibuk menghancurkan permen digital dalam kecepatan tinggi. Sarah tersenyum.

"Gimana tadi UN-nya, Novi?" tanya Sarah. Novi menjawab dengan nyanyian boyband Indonesia yang sedang naik daun saat itu. Sarah terkekeh.

"Ih, alay!" Diva datang sambil menjepit rokok yang menyala di jemarinya, "Yuk nyanyi bareng! Cantiknya, cantiknya³—"

"Ih! Asap!" jerit Novi. Diva tak peduli dan terus menyanyi. Novi yang tadi sempat berhenti, kembali menyanyi sambil menjepit hidung. Suaranya jadi bindeng.

Sarah menggelengkan kepala dan protes, "Udah berani ngerokok di kelas kamu?"

"AC-nya nggak nyala kok. Udah nggak ada orang juga. Mau kamu? Nih," Diva menyodorkan kotak rokok mentolnya. Sarah tersenyum.

"Kapan-kapan Div," ucap Sarah sarkas.

"Kita bertemu lagi," nyanyi Diva.

"Kamu kenapa sih, Div? Seneng banget."

"Ya iyalah, senang. UN pasti dibatalin! Percuma elu Sar, ngajarin gue selama ini. Tapi nggapapa lah. Mau ngerayain pembatalan UN nggak?"

Sarah melihat Diva, agak lama dari biasanya. Ia mengernyit, "UN nggak dibatalkan, Div."

"Kata siapa?" Diva mengisap rokoknya dan dengan sembarang membuang abu rokoknya ke lantai, "Kata Robi?"

Robi tiba-tiba merasa terpanggil dari lamunannya, "Hah? Apa?"

"Nggak, Rob. Ada kucing. Terbang. Jauh di angkasa," lawak Diva; "Ye!" jawab Robi cepat.

"Kata bundaku," jawab Sarah.

"Yakin?" Diva merogoh kantung dada seragamnya dan mengambil gawai, "Nih, baca."

Sarah melihat gawai Diva dan sekilas melihat berita dari salah satu sumber berita tepercaya. Kemudian, ia melihat Diva kembali. Sarah meminta penjelasan.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now