Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 5

254 23 1
                                    

Sarah memandang keluar sekali lagi. Sayap-sayap hitam itu masih ada, meski tak jelas terlihat karena terlalu cepat. Bahkan dalam mobil yang tertutup, gemuruh tetap terdengar dan menggetarkan seisi mobil.

Sekali lagi, Sarah memandangi Novi. Novi setengah sadar, tapi mungkin sebenarnya sedang berada di ambang antar sadar dan tidak. Biru dan merah di siku Novi yang lepas membuat Sarah pusing dan menahan napas. Seumur hidup, ia tak pernah melihat lengan seseorang bisa berbentuk demikian. Mulut Novi yang berbusa mengocok perut Sarah, dan bahwa Novi adalah temannya, mata Sarah pun ikut terkocok. Belum ada yang keluar dari kedua organ yang terkocok itu, tetapi mungkin bisa keluar kalau Sarah tak lagi menahan kuatnya.

Mobil berlari menuju sebuah jembatan layang di depan Pasar Senen. Sarah yakin dapat melihat sepasang sayap hitam yang lewat. Kemudian dalam sela waktu tertentu, ketika mobil menaiki jembatan layang itu, tiba-tiba rentetan ledakan menghancurkan tengah jembatan serta mengguncangkan mobil Sarah dan kawan-kawan. Jaka dengan ganas menginjak rem mobil, dan semua penumpang terbawa ke depan.

"Pak Jaka! Hati-hati! Novi, Pak!" teriak Sarah. Jaka tak mengindahkan Sarah, karena ia sendiri kaget bukan main. Jaka kemudian melihat sekeliling: Pasar Senen dan Plaza Atrium. Manusia berlarian layak semut, selagi kebakaran menghiasi gedung-gedung—kebakaran karena kerusuhan, bukan karena sayap-sayap hitam di atas. Keadaan di bawah jembatan layang yang hancur menjadi ricuh, dan ratusan orang berusaha lari menjauhi jembatan layang tersebut. Awalnya Jaka berpikir bahwa ia harus lewat jalan bawah, tetapi dengan ratusan orang berhuru-hara, ia tak bisa lewat jalan bawah itu. Akhirnya, Jaka memutar balik mobil dan melaju kencang sebelum ratusan orang panik menghalangi jalannya.

"Pak Jaka, bagaimana?" tanya Sarah. Jaka masih tak menjawab, berusaha berpikir dengan jantung yang terpacu terlalu cepat. Ia memikirkan rute baru, dan mungkin rute yang bisa diambil meski melanggar peraturan lalu lintas. Toh, saat ini ia sedang melawan arus jalan yang lengang, dan tak terlihat polisi lalu lintas yang akan memedulikan. Jaka pun memikirkan rute yang bisa ia lalui, yang cukup besar untuk mobil tapi tak bisa dilewati dalam keadaan normal. Setelah menjalani aspal, tiba-tiba mobil itu berbelok dan melalui trotoar.

"Pak Jaka?!" Sarah kebingungan melihat mobil tersebut berjalan di atas trotoar, kemudian menghancurkan kaca serta berpapasan dengan etalase beberapa toko dalam ruangan. Ia memeluk Novi erat-erat; takut ia kenapa-kenapa lebih dari yang sekarang ini.

"Sudah, Sar. Jangan khawatir," balas Robi tiba-tiba. Karena kalimat itu datang dari Robi, Sarah menenang.

Setelah beberapa lama, mobil akhirnya melaju di jalan normal lagi. Langit yang jingga mulai memerah, dan mobil itu berhenti di depan gang teramat kecil. Gang itu sepi, pikir Jaka yang tak terbiasa melihat gang tersebut tidak dipenuhi anak-anak berlarian dengan jajanan jalanan. Jaka mengundang para siswa untuk memasuki gang tersebut, sambil membopong Novi.

Gang kecil itu kembali disempitkan dengan puing-puing yang berjatuhan dan menghalangi jalan. Dengan gesit, Jaka melangkahi banyak genteng yang jatuh. Ketika jalan gang tertutup oleh puing yang tak dapat dilangkahi, ia menyuruh Sarah dan Robi untuk membuka jalan. Hingga akhirnya ketika langit menghitam, ia berhenti di depan suatu pintu dari rumah sempit dan mendobraknya. Di dalam rumah itu tidak langsung terlihat ada orang, hanya saja rumah itu diterangi lilin. Jaka kemudian memanggil penghuninya, "Bang! Bang! Bang Jon!"

Sarah melihat ke sekitar, selagi Jaka membawa Novi mengelilingi rumah sempit itu. Ia menemukan banyak wayang dan gunungan, tetapi juga tumpahan kopi berumur bulanan serta kursi ruang tamu yang lapuk dan bau apek. Rumah itu begitu sempit: cat tembok hijau sudah retak dan mengeruh di mana-mana, serta lantainya masih lantai semen. Bahkan rumah dinas ayahnya di Depok yang ia kira sudah tua dan terkesan miskin masih kalah dengan rumah sempit satu ini. Ia berpikir lagi bahwa Bang Jon, si penghuni rumah yang kata Pak Jaka adalah tukang urut, mungkin punya paras yang serupa dengan dukun atau orang buta yang keliling menawarkan jasa urut.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now