Swapsikoanalisis Sarah: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3

116 16 1
                                    

"Mas."

"Astagfirullahalazim."

"Biarin aku jelasin, Mas."

"Astagfirullahalazim."

"Mas!"

"Astagfirullahalazim."

"Dengerin aku, Mas!"

"Astagfirullahalazim!"

"Mas! Kamu nggak pernah dengerin aku!"

"Diam!"

"Argh! Sakit, Mas!"

"Sakit, katamu? Sakit?! Jadi aku nggak sakit? Udah enam kali kamu begini. Enam kali! Semuanya beda orang. Enam kali aku kamu sakitin. Kamu bilang itu sakit?!"

"Dengerin aku, Mas!"

"Kamu yang dengerin aku! Istri macam mana yang nggak pernah dengerin suaminya? Hah?! Aku kira kamu istri yang saleha. Dari keluarga baik-baik. Dokter. Tapi apa?"

"Mas!"

"Aku ngerti, Sari, kamu kesepian. Aku ngerti. Aku juga. Kamu nggak pernah ngerti rasanya nggak bisa ketemu berbulan-bulan gara-gara kerjaan. Aku dituntut buat begini. Biar bisa nafkahin kamu sama Sasa. Aku cuma minta kamu juga menjalankan kewajiban kamu. Sebagai istri. Sebagai ibu. Apa kata keluarga kamu nanti? Kata tetangga? Kata Sasa?"

"Mas. Dengerin aku."

"Harusnya aku bisa ngajarin kamu. Ini juga salah aku."

"Lintang! Dengerin aku!"

"..."

"Aku harus teriak dulu, supaya kamu mau dengerin aku? Supaya kamu mau liat aku? Udah berapa tahun kita nikah? Udah berapa lama kita berkeluarga? Baru sekarang, kan? Baru sekarang aku nggak perlu nunduk kalau mau bicara sama kamu."

"Udah sewajarnya kamu—"

"Dengerin aku, Lintang."

"Wes."

"Aku istrimu, Tang. Aku istrimu. Tapi aku juga manusia. Sebelum aku jadi istrimu, aku harus dimanusiakan. Sebelum kamu mencintaiku sebagai istri, kamu harus mencintaiku sebagai manusia. Mana ada, Tang, manusia yang nggak bakal sedih diperlakukan kayak piala? Kayak hadiah yang kamu dapet habis menang lomba? Aku masih inget terakhir kali kamu nyanyiin lagu buat aku. Kapan? Hari Sabtu. Tanggal 16 Desember, tahun '95. Nggak sampe tiga bulan habis itu, kita nikah. Dan kamu sampai sekarang nggak pernah lagi nyanyi buat aku. Kamu mungkin nggak inget, tapi aku inget. Aku inget. Itu terakhir kali aku ngerasa aku dicintai sama kamu. Terakhir kali! Kamu nggak pernah bisa ngerti seberapa kangennya aku sama masa-masa kita pacaran. Waktu kamu masih memperlakukan aku kayak manusia. Ke mana itu semua? Ke Surabaya? NTT? Aceh? Papua? Pergi ngilang bareng kamu? Kamu nggak pernah ngejadiin kerjaan kamu alesan buat jauh-jauh dari aku, sekalipun. Nggak pernah. Itu semua ke mana, setelah kita nikah? Jadi aku salah, kalau aku mau balik ke masa-masa itu, tapi nggak sama kamu?'

"Tapi nggak kayak gitu caranya, Sar!"

"Terus gimana?! Gimana caranya?! Nunggu kamu pulang? Nunduk-nunduk ke kamu? Dengerin semua perintah kamu? Ngelayanin kamu? Kapan giliran aku, Tang? Kapan kamu nyanyi lagi? Kapan kamu pulang bawa melati lagi? Kapan kamu ajak aku jalan-jalan lagi? Kamu bahkan nggak peduli lagi kalau aku tambah gendut. Nggak peduli bahkan untuk tanya gimana kabar aku. Yang ada cuma kopi buat kamu. Cuma cerita kamu habis ngapain di ujung dunia. Cuma cara-cara supaya aku bisa jadi istri yang baik. Cuma cara-cara supaya aku bisa muasin kamu! Nggak ada lagu baru, nggak ada bunga baru, nggak ada puisi baru. Semua tentang kamu!"

"Sar!"

"Apa?! Mau tampar aku lagi? Tampar! Tampar lagi! Udah banyak, kan, pengalaman kamu bunuh orang?! Sekalian! Bunuh! Bunuh!"

"Sar."

"Buat apa jadi istri kalau aku nggak bisa lagi jadi manusia. Buat apa..."

"Sari."

"Aku ngerti, Tang. Aku juga salah. Aku juga... Sasa..."

"Nggak usah bawa-bawa Sasa. Dia masih anak kamu."

"Sasa..."

"Udah. Berhenti nangis. Nanti Sasa bangun."

"Sasa."

"Maaf, sayang. Maaf. Maaf kalau aku nggak pernah dengerin kamu. Nggak gampang, Sar, nggak gampang. Aku kepikiran terus. Kadang..."

"Sasa sayang..."

"Udah. Aku udah janji untuk berdamai soal itu. Aku lagi capek aja. Aku udah janji. Aku tetap mau jadi ayah buat Sasa."

"Mas. Aku mohon. Nyanyi. Sekali aja. Nyanyi."

*****

"Aku... anak siapa?"

[Kamu anak Sari.]

"Aku anak siapa?"

[Kamu anak Sari.]

"Aku anak siapa?!"

[Kamu anak Sari.]

"AKU ANAK SIAPA?!"

[Kamu anak Sari.]

"ARGH!!!"

[Kamu anak Sari.]

"Ayah..."

[Kamu anak Sari.]

"Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah. Ayah—"

[Kamu anak Sari.]

[Kamu anak jalang.]

[Kamu anak Sari.]

[Kamu hampir menjadi anak Ajeng.]

[Kamu hampir menjadi anak bahagia.]

[Kamu hampir menjadi anak Ajeng.]

[Lihat. Jauh di timur sana. Lihat. Kamu anak Ajeng, seorang jenderal. Kamu anak Lintang, yang bukan lagi seorang prajurit biasa, tetapi jenderal. Lintang dapat memilih antar kakak beradik, dan di timur sana, ia memilih sang kakak. Di timur sana, ia memilih pilihan yang tepat.]

[Lihat. Jauh di barat sana. Lihat. Kamu anak Sari, seorang dokter. Lintang dapat memilih antar kakak beradik, dan di barat sana, ia memilih sang adik. Di barat sana, ia memilih pilihan yang membinasakan dirinya sendiri. Dan di barat sana, pilihan itu juga membinasakan kamu.]

"Nggak. Nggak. Nggak. Nggak. Nggak—"

[Di timur sana, kamu melayang di udara. Di dalam pesawat bunda, melihat kepulauan Maluku.]

[Di barat sana, kamu melayang di udara. Di dalam kamar bunda, melihat lantai yang dinodai darah dan tahimu.]

[Di tengah dunia ini, di batas antar selatan dan utara, apa yang akan terjadi?]

"NGGAK!!!"

[Apakah nasib kamu akan ditentukan oleh orangtua kamu, seperti di barat dan timur?]

[Ataukah, memang nasib kamu bukan kamu yang memegang sedari kamu lahir? Dan yang memegang nasibmu adalah orangtuamu?]

[Apakah kamu dapat menentukan nasibmu sendiri?]

[ [ S E N G K A R U T ] ]

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now