Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6

242 23 3
                                    

Sarah berdiri perlahan dan sempoyongan, kemudian membuka kunci pintu menuju ruang tamu. Ia disambut oleh wajah Robi di depannya, dan kemudian kikuk mencari arah keluar yang terblokir dua kali oleh Robi yang geser kanan geser kiri. Setelah itu, Sarah dikawal oleh Jaka keluar rumah kumuh itu.

Kini Robi masuk ke ruang tengah, dan diamati dengan saksama oleh Jon. Mata Jon tertuju pada noda merah besar di pinggang Robi, yang sedari tadi ia pegang dalam rangka menahan sakit.

"Lepas seragammu," suruh Jon. Tanpa banyak basa-basi, Robi melepas seragamnya. Jon melihat luka yang menganga lebar di pinggang Robi, lebih lebar dari luka di payudara Sarah. Jon mengubah pikirannya yang tadinya hendak membereskan alat jahit medisnya.

"Kuat sekali kamu. Kamu menahan selama ini dan tak meringis sama sekali. Duduklah," ujar Jon dengan senyum.

"Saya akan dijahit, Pak?" tanya Robi dengan keringat dingin.

"Ada bius. Tenang saja."

"Saya nggak bakal kenapa-kenapa kan?"

"Tenang. Kamu sudah kuat menahan. Kamu ndakkan kenapa-kenapa."

Jon pun memulai proses pengobatan Robi. Sembari ia mengurusi luka besar di pinggang Robi, ia menyadari aksen Robi tidak seperti aksen orang Indonesia. Jon merasa Robi berusaha menyembunyikan aksen tersebut.

"Kamu orang mana?"

"Saya... orang..."

"Malaysia ya?"

Robi tidak menjawab.

"Kamu sekolah di sini?"

"Iya, Pak."

"Orangtua di sini juga?"

"Nggak."

"Jadi kamu sekolah sendiri?"

"Sekarang sih iya Pak."

"Orangtuamu pulang ke Malaysia, dan kamu masih sekolah di sini. Pindah buat kerja, ya?"

"Iya, Pak."

"Ini pertama kalinya kamu hidup sendiri tanpa orangtua?"

"Iya."

"Berani juga kamu."

"Nggak juga, Pak."

Robi jelas terlihat tidak santai, dan Jon menyadari. Nada Jon di kalimat terakhirnya mungkin terkesan menuduh, walau sebenarnya itu hanya aksen Jon. Jon berusaha menjelaskan.

"Tenang, Robi. Kamu tetap saya tolong kok."

Robi tidak menjawab.

"Tadi saya sempat cerita ke temanmu. Saya pernah ke Aceh. Di sana juga ada perang. Korban berada di kedua belah pihak, dan juga orang-orang yang ndak memihak siapa-siapa."

"Perang di Aceh?"

"Mungkin kamu belum pernah dengar. Maklum. Tapi, iya. Waktu itu waktu yang sulit. Saya ndak pandang bulu. Jika ada yang butuh bantuan, saya akan bantu.

"Saya ndak menyangka hal yang membuat saya berhenti jadi dokter terulang lagi. Di Jakarta ini malah."

"Bapak berhenti jadi dokter?"

"Iya."

"Karena perang?"

"Karena perang."

Robi memikirkan kampung halamannya. Ia memikirkan bagaimana cara para pemimpin meyakinkan penduduknya untuk membenarkan peperangan melawan Indonesia. Ia memikirkan mayat Mas Panca, dan bagaimana para tentara negaranya tak mengacuhkan; mengatasnamakan kematian sultan mereka. Para tentara di atas sayap-sayap hitam itu pun tak memikirkan bahwa ada dia di balik atap-atap yang mereka hujani dengan api. Robi mempertanyakan kebanggaannya sebagai orang Malaysia, dan mempertanyakan bagaimana penduduk Malaysia bisa menarik kebanggaan dari melakukan peperangan ini.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now