Sawah Besar: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2

165 15 0
                                    

Tanpa kehati-hatian, Sarah turun hingga ke lantai dasar. Ia melompati koridor yang tinggal setengah, melongkapi anak tangga, dan berlari kencang. Ketika ia sampai di lantai dasar, ia melihat Robi menutupi mata Novi dan mendekapnya erat. Sarah hampir menangis melihat raut wajah Robi, tetapi tangisan yang tertahan itu keluar perlahan ketika ia melihat Diva dalam genangan darahnya sendiri.

Beberapa gigi Diva terlihat di atas aspal. Lehernya tertekuk terlalu dalam dan jelas patah. Melihat bahwa Diva sudah tak bergerak lagi, kepalanyalah yang menghantam aspal.

Sarah mual dan memuntahkan asam lambungnya sambil tersungkur.

"Kenapa?" bisik Robi dalam; "Kenapa!"

Sarah tak menjawab. Ia masih memuntahkan isi perutnya. Sekali lagi Robi bertanya, "Kenapa?!"

"Diva," ucap Sarah lemah.

"Sarah?" tuduh Robi.

"Diva," lirih Sarah; "Diva!"

"Kamu ngapain, Sar?" tuduh Robi sekali lagi.

"Aku nggak tau, Rob. Aku nggak tau!"

"KAMU NGAPAIN?!"

"AKU NGGAK TAU!"

"SARAH!"

Novi berteriak, "Udah! Udah!"

"Kamu ngapain!"

"Aku nggak tau. Aku nggak tau. Aku nggak tau."

Sarah mengucapkan kalimat yang sama berkali-kali hingga tinggal bisik yang terdengar. Robi tak kunjung mengerti. Ia jatuh berlutut, kemudian terduduk, membawa Novi bersamanya. Sekali lagi, Novi berteriak, "Udah. Udah!" dan Robi terjebak antara dua temannya yang mengucapkan hal yang sama terus menerus.

Tangisan Sarah meledak, begitu pula dengan Novi. Robi perlahan menitikkan air mata; ia tak mengerti apa pun yang terjadi. "Diva," ujar Robi lemah. Ia tak percaya yang ia lihat adalah Diva.

Di kejauhan, Robi melihat dua orang berjalan mendekati mereka. Mereka berseragam hijau tentara. Jantungnya berdebar kencang.

"Sar?"

Sarah masih menangis.

"Sar?" panggil Robi sekali lagi.

Sarah tak kunjung berhenti menangis.

"Siapa di sana?" teriak salah satu tentara tersebut; "Siapa di sana?" teriak tentara itu sekali lagi.

"Ada apa di sini?" ucap tentara yang sama ketika mereka sudah cukup dekat dengan para siswa. Tak ada satu pun dari siswa yang menjawab; hanya Robi yang memandang mereka.

Kedua tentara itu melihat Diva, dan mereka hendak memastikan, "Teman kalian?"

Tak ada jawaban.

Ketika melihat mayat Diva, kedua tentara tahu jenis kematian yang menimpanya. Masih mengalirnya darah dan sesekali masih ada kedutan otot yang lemah memperlihatkan umur mayat tersebut. Ditambah dengan teriakan para anak-anak dan tangisan mereka, kedua tentara sudah mengerti apa yang terjadi.

"Sudah. Ayo ikut," bujuk tentara yang belum berbicara. Hanya Robi yang merespons dengan memandang tentara tersebut; ia bingung apakah harus menurut atau menunggu dipaksa.

"Di sini tidak aman. Ayo ikut kami," bujuk tentara yang sama sekali lagi; "Teman kalian akan kami urus."

"Sarah?"

Sarah menyadari bahwa suara itu bukan suara Robi, melainkan suara tentara yang tadi berteriak. Ia tersadar dari dukanya, dan menengok ke tentara yang memanggilnya.

"Benar, ternyata. Sarah."

Sarah masih bingung. Teman dari tentara tersebut juga bingung dan menengok ke arahnya.

"Kamu lupa om? Om Aziz."

Sarah melihat Aziz, masih tak mengenalnya.

"Sudah besar kamu ya. Pantas lupa sama Om. Om teman ayahmu," Aziz tersenyum lebar.

"Ziz?" bisik temannya.

"Anaknya Lintang, Do," balas Aziz. Temannya langsung sadar, "Oh, anaknya Lintang! Salam, saya Edo. Dulu kami seangkatan sama ayahmu."

Aziz dan Edo termenung sebentar, dan menengok ke satu sama lain. Mereka hendak memberikan kabar tentang Lintang, tetapi tidak yakin Sarah dapat menerimanya dengan lapang dada. Mereka pun juga bukan main heran dengan kebetulan tersebut, dan juga bahwa mereka masih dapat menemukan siswa-siswi di sekolahan.

"Sudah, Sarah. Jangan dilihat terus. Kami akan mengurus semuanya. Sekarang, ayo ikut kami," bujuk Aziz.

Sarah masih tak mengenal Aziz. Mungkin ia pernah bertemu Aziz ketika ia masih sangat kecil, sehingga ia tak mengingatnya. Mungkin juga ia bertemu Aziz hanya sekali seumur hidup; ayahnya sempat beberapa kali mengajaknya bertemu rekan-rekan seperjuangan. Sarah mencoba mengingat ayahnya: ayahnya memang supel dan punya banyak teman, dan jelas wajah Melayunya yang teduh serta kulitya yang cerah membuat orang mudah dekat dengannya. Jelas juga Aziz dekat dengan ayahnya, karena rupa mereka berdua mirip.

Sarah masih belum dapat berdiri. Novi sudah berhenti berteriak sedari tadi karena ketakutan melihat dua sosok tegap yang terlihat garang. Robi sendiri hanya terpatung, tak tahu harus melakukan apa.

"Sarah," ujar Aziz sekali lagi.

"Saya mohon," bisik Sarah lirih; "Tolong teman saya."

Aziz dan Edo menyadari bahwa teman yang dimaksud Sarah adalah jasad yang darahnya masih mengalir pelan di aspal. Edo hanya menengok ke belakang, dan Sarah menjadi penasaran sendiri serta ikut melihat ke titik pandangan Edo. Sarah dapat melihat tim SAR sudah bermunculan, meski belum benar-benar mengurusi berbagai jasad yang terkubur di mana-mana.

Sarah melihat salah satu tim SAR berhasil mengeluarkan Pak Arli dari reruntuhan. Ia melihat Arli: kulitnya ungu, kepalanya sekadar onggokan daging tak berbentuk, dan badannya membengkak.

Napas Sarah berhenti sesaat. Ia berusaha mengingat kembali wajah Arli serta membandingkannya dengan bengkakan daging ungu yang ia lihat. Kemudian, ia berusaha mengingat kembali wajah Diva, kekasih Arli, untuk dibandingkan dengan onggokan daging merah dengan gigi berserakan dan tengkorak pecah, yang mengeluarkan bubur merah muda serta merah terang.

Sarah membayangkan Arli dan Diva duduk berdua di pinggir atap sekolah sambil menikmati sore. Kemudian, ia melihat keadaan mereka berdua saat ini.

Sarah pingsan.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now