Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 2

268 25 1
                                    

Hari itu adalah hari pembagian rapor. Sarah menunggu gilirannya dengan sabar; namanya berada di posisi terbawah dalam absen. Diva sudah keluar, begitu juga dengan Bejo dan Daffa. Beruntung sekali mereka yang namanya berawalan "B" dan "D", pikirnya, karena bisa mendapatkan rapornya dengan cepat. Setidaknya, Sarah ditemani oleh ibunya—ayahnya akan menyusul sebentar lagi. Robi pun ditemani oleh kedua orangtuanya, serta Novi ditemani ibunya. Sarah tersenyum melihat ibu Novi yang masih belum sempat mengganti seragam nakhodanya yang begitu mewah, dan sedikit terkekeh mendengar pembicaraan kedua orangtua Robi dalam Bahasa Malaysia.

Bu Salma masih mengobrol dengan Ghiffari, yang pastinya lama karena Ghiffari mungkin mendapatkan beberapa nilai merah dan Bu Salma harus menjelaskan kepada orangtua Ghiffari. Sarah mulai agak bosan, dan ibunya pun sedang sibuk membaca Belenggu karya seorang mantan calon dokter bernama Armijn Pane. Seandainya ibunya bukan dokter, mungkin ia sudah menjadi penulis seperti Armijn. Sarah hanya tersenyum.

Sarah sudah yakin ia akan masuk kelas IPA, dan ia cukup kasihan dengan Bejo dan Daffa yang masuk kelas IPS pada kenaikan kelas sebelas itu. Hal tersebut bukan kehendak mereka, tetapi terlempar karena tak mampu berhadapan dengan fisika serta matematika.

Sarah pun khawatir Diva terlempar ke IPS, begitu pula dengan Novi serta Robi. Ia khawatir ia tidak cukup mengajarkan mereka, dan mereka sendiri tidak cukup belajar dengan giat. Karena tak sabar ingin tahu, Sarah meminta izin kepada ibunya agar menyusul Diva. Sarah yakin Diva masih berada di sekolah.

Setelah berkeliling sebentar, Sarah berhenti di dekat ruang BK. Ia melihat dari sela-sela pintu bahwa lampu ruangan BK menyala, dan pendingin ruangannya pun juga menyala dengan hawa dingin yang keluar dari sela-sela pintu. Aneh, pikirnya, di hari pembagian rapor, mengapa ruang BK masih digunakan? Mungkin aku tidak tahu ruang BK selalu dibuka, pikirnya lagi, toh aku tak pernah ke ruang tersebut.

Beberapa saat sebelum Sarah pergi, ia mendengar suara Diva dari dalam ruangan BK. Suaranya tidak seperti sedang mengobrol. Suaranya lebih seperti sebuah rintihan. Sarah tidak jadi pergi, dan mulai mendengarkan dengan cermat. Beberapa saat, rintihan itu terdengar lagi. Kadang kencang, kadang hanya dengan napas, dan lama kelamaan semakin bertubi-tubi. Sarah tahu persis itu suara Diva, dan kini Sarah khawatir sesuatu terjadi kepadanya.

Sarah membuka pintu ruang BK, tetapi ternyata terkunci. Sarah semakin panik, dan semakin khawatir dengan Diva. Apa yang tengah terjadi di dalam ruang BK tersebut? Akhirnya, Sarah memutuskan untuk mengetuk pintu ruang BK.

"Sebentar," kata seorang lelaki dari dalam ruang BK. Sarah tahu pemilik suara itu. Dan benar saja: setelah menunggu agak lama, pintu BK terbuka dan Sarah disambut oleh Pak Arli.

"Ada apa, Sarah?" tanya Arli. Sarah hanya menggelengkan kepala dan mencurahkan kekhawatirannya mengenai rintihan Diva. Arli tersenyum, tetapi seperti tersipu, dan kemudian mengatakan bahwa Diva baik-baik saja di dalam ruangan tersebut.

"Mungkin kamu mendengar penunggu sekolah ini," Arli berusaha menakuti Sarah. Sarah terkekeh dan tidak percaya.

Sarah bertanya kepada Arli di mana Diva. Arli tersenyum, meminta Sarah untuk menunggu sebentar. Sarah menurut. Setelah beberapa lama, suara Diva terdengar dari sekat di ujung ruang BK. Sarah mendengar kekehan Diva, dan mulai tersenyum.

Sarah hendak menyapa Diva dan menanyakan apakah ia masuk IPA atau IPS, dan ketika Diva keluar, Sarah terperangah. Ia dapat melihat Diva kehilangan banyak giginya, dan bubur otaknya bergelantungan menutupi mata kanannya. Diva tersenyum ramah, dan berusaha bercanda, "Napa lo liat gua gitu amat?"

Sarah menjauh. Ia berjalan mundur. Sarah berusaha bertanya kepada Arli, "Pak Arli? Diva... Diva... kenapa?"

Arli menjawab, "Kenapa, Sarah?"

Sarah melihat Arli. Batiknya tak dapat menutup bengkak badannya dan ungu kulitnya. Sarah berusaha mencari mata Arli, tetapi kepalanya tak mempunyai bentuk. Sarah berteriak, dan lari dari ruang BK.

Arli hendak mengejar Sarah, berusaha menenangkan siswinya yang tiba-tiba mendapat serangan panik. Hanya saja, Sarah berlari sangat kencang. Ia terus belari, dan kembali ke ruang kelasnya.

Ketika sampai di ruang kelas, suasana kelas sudah sepi. Novi dan Robi sepertinya sudah pulang, dan memang tinggal giliran Sarah untuk mengambil rapor.

"Nah, ini dia Sarahnya. Mari bu," ucap Bu Salma kepada ibu Sarah.

Sarah melihat Bu Salma tak mempunyai bola mata. Kulitnya pun ungu serta bengkak. Sarah berteriak kencang.

"Bunda!"

Sarah berlari ke pelukan ibunya.

"Kenapa Sasa?" ibunya berusaha menenangkan Sarah.

Sarah melihat ibunya. Ibunya tak kenapa-kenapa. Sarah bersyukur.

Ketika sudah lama memandang ibunya, Sarah meyadari sesuatu. Di rambut ibunya ada abu. Sarah tak mengingat ibunya dekat dengan seorang perokok maupun arang yang dibakar untuk sate di kantin. Lalu secara seketika, ibunya melebur menjadi abu.

Sarah tak memeluk siapa-siapa lagi. Sarah berteriak. Sarah lari dari ruang kelas. Sarah menangis. Sarah menderukan napasnya.

Ketika ia keluar dari sekolah, seseorang memanggilnya, "Sasa!"

Sarah menengok ke sumber suara tersebut. Ia melihat seseorang dalam seragam tentara. Rambutnya putih, perawakannya lima belas tahun lebih tua dari ibunya, dan wajahnya tegas layak orang India. Sarah mengenalnya. Ayahnya baru sampai.

Sarah melihat tubuh ayahnya tinggal setengah.

Sarah tak mengenal siapa dia.

Sarah berteriak.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now