Menteng: Rabu, 16 April 2014 - Bagian 3

71 12 0
                                    

"Ngobrol apa?"

Sarah tak menatap Robi sama sekali. Ia terpaku oleh catatan kecil yang ditulisnya, yang ia hafal entah sedari kapan. Robi, melihat Sarah tak mengindahkannya dan tetap terpaku dengan secarik kertas, mulai menegangkan otot rahangnya.

"Kamu sadar, kan, UN dibatalin?" Robi memastikan.

Sarah tak menjawab langsung. Ia tetap memperhatikan catatan kecilnya. Namun pada akhirnya, ia membalas, "UN nggak dibatalin, Rob."

Robi mendekati Sarah, agak tergesa-gesa. Setelah sampai di depan Sarah, ia menutup catatan Sarah dengan tangannya.

"Sarah. Aku mohon. Mikir. Sekali ini aja. Please. Jangan belajar terus."

Sarah yang sedari tadi menatap kertas catatannya, kini dipaksa menatap Robi. Ia menatap Robi lama dan dalam, dengan raut wajah datar yang tak berubah sama sekali.

"Jangan belajar? Terus aku harus ngapain?"

Robi terperangah, namun tak menunjukkan raut wajah terperangah. Rahangnya semakin tegang, namun ia berusaha tak menunjukkan ketegangan itu.

"Ada banyak yang bisa kamu lakuin. Belajar di saat kayak begini itu hal yang paling salah yang bisa kamu lakuin."

"Hal paling salah?" tanya Sarah, tanpa mengubah kedataran wajahnya.

Robi menghembuskan napas, berusaha tidak tegang, "Sar. Kamu bisa ngelakuin hal yang lebih guna."

"Misalnya?"

"Kamu bisa balik ke rumah Bu Ajeng. Atau ke bunker. Atau—"

"Itu semua lebih guna dari belajar?"

Robi terpaku. Ia tidak percaya apa yang baru saja ia dengar, terutama karena yang mengucapkan pertanyaan itu adalah Sarah. Ia berusaha menenangkan diri.

"Sar. Maksud aku bukan gitu. Please. Kamu lebih pinter daripada aku. Harusnya kamu ngerti."

Sarah berdiri. Ia menatap Robi dalam. Tanpa bergetar, ia berkata kepada Robi, "Orangtua aku udah nggak ada, Rob. Mereka pergi perang. Perang ngelawan negara kamu. Pesan mereka cuma satu: aku belajar yang benar. Kamu juga bilang begitu kan, ke Tante Ajeng? Kamu di sini buat belajar?"

Robi berusaha sabar, "Tapi kita bisa lupain UN buat sekarang. Ayo, Sar. Ayo. Ayo kita balik ke rumah Tante Ajeng. Atau ke bunker. Kalo mau belajar, nggak usah di sini. Bisa di sana."

"Terus UN-nya gimana?" tantang Sarah.

Kesabaran Robi hampir habis, "UN-nya dibatalin, Sar. Please. Kamu pinter. Kamu lebih pinter dari ini. Kamu yang paling bijak di antara kita semua. Kita belajar buat UN tuh udah makan korban. Kalau aja waktu itu kita langsung pulang, Pak Arli... Diva..."

Robi mulai memalingkan wajahnya dari Sarah. Sarah tak bergeming sama sekali. Ketika Sarah menyadari Robi takkan melanjutkan kalimatnya, ia membalas.

"Aku tau kok. Aku sadar. Aku nyaksiin semuanya. Pak Arli, Diva... semuanya. Karena aku juga, kan, kita bisa dilindungin Tante Ajeng? Karena aku juga, kamu dilepas sama tentara-tentara. Kamu udah ngapain aja emang?"

Robi kembali menatap Sarah. Kali ini ia tidak dapat menyembunyikan wajah terperangahnya. Ia juga telah gagal menyembunyikan ketegangan otot wajahnya.

"Aku udah ngapain aja? Aku juga nyaksiin semuanya. Aku juga udah bantu kamu, Pak Jon, Tante Ajeng, sama Novi. Apa maksud kamu nanyain gituan ke aku? Kamu beneren mikir cuma kamu yang ngapa-ngapain di sini?"

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now