[Tambahan] Senen: Selasa, 15 April 2014 - Bagian 3

126 20 0
                                    

Novi melamun. Tangan kirinya kini tak hanya diperban, tetapi juga diberikan kain penyangga. Ia tak diberi gips, dan ia tidak tahu apakah ia memerlukan gips atau tidak. Ia hendak menggigit kuku di tangan kanannya, tetapi tidak hanya kuku-kuku itu sudah habis, tangan kanannya dibalut perban karena luka gigitan. Ia terganggu dengan kain-kain perban, bau rumah sakit, orang-orang yang berisik, lampu-lampu yang terlalu terang, serta isi pikirannya sendiri. Indranya terbombardir. Ia tak dapat fokus melakukan atau memikirkan hal apa pun. Ia hanya dapat melamun dan membiarkan dadanya disesakkan kecemasan.

Dalam lamunannya, Novi mengkhayal saat seragamnya masih utuh dan tidak sobek-sobek. Tekstur seragamnya sangat ia senangi, dan benang serta robekan yang terasa begitu mencekam baginya. Ia mengkhayal bau saus asam manis dari Courdon Bleu yang tiap hari ia makan di sekolah, dan menghafal tekstur dari nasi serta ayam dalam tiap kunyahannya. Makanan kalengan yang disuapkan secara paksa terlalu halus teksturnya, dan membuat Novi geli dan jijik. Dalam lamunannya, ia merindukan stimulus yang ia kenal.

"Novi, makan," Jaka berusaha menyuapi Novi. Anak itu hanya melamun, dan seakan-akan tak menyadari keberadaan Jaka. Jaka malah merasa bahwa anak itu secara sengaja mengabaikan keberadaannya. Hanya saja, anak itu memang terkenal demikian di sekolah.

Novi tak melamunkan siapa-siapa: tidak Sarah, tidak Robi, tidak Diva, tidak Jaka, dan bahkan tidak melamunkan ibunya sendiri. Ia hanya melamunkan stimulus yang ia kenal, termasuk gawai serta permen digitalnya. Hanya itu yang ia mau. Ia ingin ditinggal sendiri dan memecahkan permen-permen lagi. Seperti dulu, seperti seharusnya, seperti biasanya. Ia tak lagi peduli dengan orang lain, dan ia tak lagi peduli dengan pelajaran sekolah. Semua merusak ritualnya. Dulu semua itu bisa ia toleransi, tetapi hanya permen digital sajalah yang ia pikirkan sekarang.

Novi melamun. Dalam lamunannya, ia menangis. Ia akhirnya memikirkan seseorang: ayahnya. Ayahnyalah yang memperkenalkan dirinya dengan banyak hal. Ayahnyalah yang memperkenalkannya kepada matematika, satu-satunya mata pelajaran yang Sarah tak dapat saingi. Satu-satunya pelajaran yang dapat ia toleransi, bahkan senangi. Ayahnyalah yang mengerti bahasanya, dan yang mendorongnya untuk bisa menoleransi keberadaan orang lain di dekatnya—termasuk ibunya sendiri. Seorang ayah rumah tangga, yang sudah digantikan oleh seorang suster semenjak Novi masih SMP. Novi tak pernah mengerti penyakit yang membunuhnya, meskipun Sarah selalu berusaha menjelaskan apa itu stroke. Tidak ibu, Sarah, maupun permen digital, dapat menggantikan sosok ayah dalam pikiran Novi.

Novi melamun. Jaka tetap berusaha menyuapinya.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now