Sawah Besar: Jumat, 24 Januari 2014

879 36 0
                                    

Waktu menunjukkan pukul satu siang, dan siswa-siswi kelas dua belas tengah merayakan waktu pulang setelah menyelesaikan try-out terakhir di minggu itu. Try-out terakhir itu adalah mata pelajaran biologi, yang sebenarnya jauh lebih sulit ketimbang yang akan diuji saat ujian nasional nanti. Setidaknya, begitulah dugaan Sarah sembari merapikan alat tulisnya kembali ke tas.

Sarah duduk sendiri di barisan meja terdepan. Dulunya meja tersebut adalah mejanya, tetapi semenjak diadakan try-out ia terlempar ke belakang karena namanya berada di urutan belakang di daftar absen.

Ruang kelas itu sudah sepi, dan siswa-siswi sudah pulang atau membahas try-out di depan kelas. Hanya ada tiga siswa-siswi selain Sarah: satu sedang menyendiri di sudut belakang kelas sambil memainkan permainan di gawainya, satu sedang merapikan tas di tengah-tengah kelas, dan satu lagi menghampiri Sarah sambil memasukkan selembar kertas biru ke tempat pensil Sarah.

"Kerja bagus, Sar." sengir Diva sambil menaruh kembali dompetnya ke dalam tas kecilnya.

"Kamu yang kerja bagus. Siapa sangka Diva bisa ngerti kode morse dalam seminggu," gerutu Sarah sambil mengambil kertas biru di tempat pensilnya dan menaruhnya ke dalam dompetnya.

"Ide siapa dulu dong, kalo bukan elu." Diva menepuk pundah Sarah, dan tak sengaja menyenggol kerudung Sarah. Sarah dengan cepat membenarkan kerudungnya.

"Untung pengawasnya nggak ngerti."

"Mana peduli. Nggak bakal ada guru yang seniat itu buat cari tau kalo-kalo muridnya kerja sama pake kode morse. Elu kelewat paranoid, Sar."

"Soalnya ayahku ngerti."

"Emangnya yang ngawas ayah lu? Udahlah, yang penting TO udah selesai. Makasih ya, Sar."

"Ingat ya. Cuma TO. Aku nggakkan bantu kamu di UAS atau UN, kecuali bantu belajar."

"Yakin, Sar? Duit gue masih banyak loh."

"Ini bukan soal duit, Div. Jangan lupa: kita pelajar."

"Jangan mulai deh," Diva berhenti tersenyum, kemudian memegang dan memainkan kepala Sarah; "Nggak ada salahnya bantu temen yang sedang membutuhkan."

"Nggak ada salahnya juga belajar," Sarah menahan tangan Diva.

"Terserah. Aku duluan ya!" ucap Diva sambil meninggalkan ruang kelas. Sarah hanya melihat dan menggelengkan kepala. Kini ia tersenyum melihat isi dompetnya, dan membayangkan buku Dunia Anna karangan Jostein Gaarder. Sudah sedari awal tahun Sarah menemui buku tersebut di toko buku bajakan di sekitar Pasar Senen. Kini uangnya cukup untuk membeli buku tersebut.

Sarah kemudian memikirkan siswi yang memberikannya uang tadi. Ia berpikir bagaimana ia berteman dengannya sedari kelas sepuluh, dan bagaimana ia "digunakan" olehnya. Hanya saja, Diva erti Sarah, dan seringkali membayarnya langsung dengan buku-buku dambaan Sarah tiap kali Diva ingin menyontek. Diva jarang membaca, tetapi tahun lalu, Sarah berhasil membuatnya membaca beberapa buku. Salah satunya adalah buku Carl Hart, yang dibelikan Diva untuk Sarah. Ia teringat bagaimana Diva mati-matian membaca buku itu bersamanya, dan semua itu demi ujian tengah semester lima yang gemilang.

Lamunan Sarah berhenti ketika ia mulai menyadari suara permainan dari gawai siswi di belakangnya masih belum selesai. Suara gawai itu tidak berhenti-berhenti sedari tadi. Sarah menengok ke belakang, dan tersenyum.

"Novi," panggil Sarah. Siswi itu tidak menjawab, dan tetap asyik dengan gawainya.

Sarah memanggil Novi lagi dan lagi. Novi seakan-akan tidak merasa dipanggil. Sarah hanya memutar matanya, dan tersenyum. Novi memang tak pernah berubah, pikirnya.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now