Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]

182 14 0
                                    

Jaka dan Sarah kembali ke rumah kumuh Jon. Di pelataran kecil terlihat Jon sedang merokok sambil bersila di lantai, bersama Robi yang tak merokok yang juga bersila di lantai. Robi terlihat tidak lagi memakai seragam, tetapi kaus kumuh berwarna putih dan celana pendek berwarna cokelat. Mungkin kepunyaan Pak Jon, pikir Sarah.

Ketika melihat Jaka membawa sebungkus makanan, Jon tersenyum, "Rancak. Masak lai waang," dan Jaka pergi ke dapur di belakang.

Sarah ikut bersila di sebelah Robi, "Gimana, Rob?"

"Udah diperban kok," balas Robi. Sarah tersenyum, dan lekas menyudahi senyumnya. Ia kembali mengingat wajah ayahnya.

"Kenapa, Sar?"

"Nggak."

Jon melihat Sarah yang muram, "Bagaimana kalau kita nyanyi?"

Sarah melihat Jon. Robi menyahut, "Boleh tuh! Siapa mau nyanyi duluan?"

Jon menjawab, "Coba kamu. Saya mau dengar lagu anak zaman sekarang."

Robi terdiam, kikuk. Ia tersenyum simpul, dan kebingungan mau menyanyi apa. Jon menunggu, hampir tertawa; "Ayo, ayo! Nyanyi apa pun boleh!"

Robi diam. Kini ia tahu apa yang hendak ia nyanyikan. Ia menunggu hitungan tempo dalam hatinya, dan menyiapkan suaranya agar tepat nada. Ia melirik ke Sarah.

"Aku sering diancam. Juga teror mencekam⁹."

Sarah tersenyum. Ia melihat Robi. Robi lanjut nyanyi.

"Kerap kudisingkirkan. Sampai di mana kapan."

Sarah ikut nyanyi berbarengan dengan Robi, "Kubisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan."

Akhirnya, Robi dan Sarah lepas nyanyi dengan lantang, "Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti."

Jon terpukau, "Wah, lagu siapa itu?"

"Efek Rumah Kaca, Pak. Judulnya Di Udara. Favoritnya Sarah," jawab Robi. Sarah tersipu.

"Liriknya bagus juga," senyum Jon, "Tentang pejuang?"

"Mungkin, Pak," jawab Sarah. Ia termenung sebentar; "Saya ingat cerita kakek saya. Dia punya sahabat. Namanya Amang. Amangkurat."

"Amangkurat? Si jurnalis terkenal itu?"

"Oh iya. Zamannya pas, ya, Pak? Hahaha!"

"Jelas! Saya tahu baik si Amangkurat itu. Jurnalis sungguhan dia."

"Iya, Pak."

"Sayang dia mati muda. Jantungan katanya."

"Sebenarnya, Pak, kakek saya kenal baik Pak Amang ini. Dan... kakek saya tau yang sebenarnya. Pak Amang meninggal diracun. Kabarnya karena beliau tau sesuatu. Nggak tau saya, tau apa."

"Oh? Serius?"

"Seenggaknya, saya yakin kakek saya nggak bohong. Dulu waktu cerita itu, kakek saya nangis. Kayaknya emang beneren sahabatan. Gara-gara Pak Amang mati, kakek jadi berubah. Saya sih nggak ngerti perubahannya gimana, tapi katanya kakek saya nggak kayak begitu dulu. Beliau sering bilang kalau beliau benci banget sama pemerintahan."

"Ternyata dibunuh, ya. Tapi saya ndak kaget. Bahaya memang kerjaannya. Sudah risiko lah. Memangnya kakekmu itu kerja apa, bisa kenal Amangkurat?"

"Beliau PNS dulunya, Pak."

"Oh. Ironis ya. Kakekmu kerja di pemerintahan, tapi benci pemerintahan. Kasihan. Kalau bapakmu? PNS juga?"

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now