38. Rahasia yang Terungkap

90.3K 6.9K 253
                                    

Satu minggu terakhir ini terasa sangat berat bagi Qila dan Fiqa. Keduanya hanya diantar oleh mamanya saat berangkat sekolah. Sepulang sekolah, mereka dijemput oleh sopir pribadi suruhan sang papa untuk menuju tempat les dan mereka juga pulang ke rumah bersama sopir pribadi.

Aji dijaga oleh Nenek di rumah selama kedua oranguanya bekerja. Qila merasa sebal melihat ART di rumahnya yang selalu mengerjakan pekerjaan mamanya. Mulai dari membereskan rumah dan mainannya yang selalu berantakan. Ralat, sengaja tidak ia rapikan supaya wanita itu merasa kesal.

"Qila, kalau udah selesai mainan, diberesin lagi, ya," tegur Dita, ART yang bekerja di kediaman rumah Gio setiap kali mendapati anak pertama pria itu memberantakan mainan.

Qila memajukan bibirnya. Wanita yang sudah berumur tiga puluh tahun itu tidak marah. "Aku capek, mau main sama dedek aja." Anak kecil itu selalu menjawab dengan perkataan yang sama dan kemudian pergi meninggalkan ruangan bermainnya.

Pagi ini, hari yang ditunggu-tunggu oleh Qila. Hari di mana Dita tidak datang ke rumahnya. Akhirnya, ia bisa melihat mamanya membereskan rumah. Hal yang sangat ia rindukan setelah lima hari pekerjaan rumah dikerjakan oleh Dita. Langkah kecilnya selalu mengikuti ke mana Mel bergerak.

"Sayang, jangan ngikutin Mama terus." Mel menoleh ke arah anaknya saat sedang mencuci piring bekas makan siang.

"Mama gak suka, ya?" Raut wajah Qila berubah drastis. Tidak lagi ceria.

Mel menghela napasnya. "Suka. Tapi, nanti kamu kena tangan Mama. Sakit, loh."

"Abisnya aku seneng liat Mama cuci piring. Biasanya kan ibu yang cuci piring." Qila memajukan bibirnya.

Mel menghentikan aktivitasnya. Wanita itu terduduk di atas kursi di dekatnya. Tangannya menarik tubuh anaknya supaya mendekat.

"Qila, papa bayar ibu supaya bisa bantu bersihin rumah. Mama capek kalau harus bersihin rumah pulang kerja. Jadi, itu semua sekarang tugas ibu, kalau sabtu sama minggu, tugas mama." Mel menjelaskan dengan penuh hati-hati, takut menyinggung perasaan anaknya.

"Tapi, ibu gak boleh masak buat aku sama Fiqa sama dedek." Wajah Qila terlihat serius.

Mel mengangguk. "Kemarin-kemarin juga Mama sama nenek yang masak." Wanita itu tersenyum. "Jangan ngambek." Mel mencolek hidung anaknya. "Sana, main temenin dedek. Nanti Mama nyusul."

"Seharusnya Mama gak usah kerja aja." Qila berbisik saat sudah balik kanan. Tanpa ia sadari jika mamanya mendengar apa yang ia katakan.

***

Qila berlari menuju halaman depan rumah. Ia mendekati bola milik Aji yang terjatuh dari lantai atas saat sedang ia mainkan bersama Fiqa. Karena sifat jahilnya, anak kecil itu mengintip ke balik pagar. Seketika, wajahnya berubah pucat.

"Qila, cepetan, dong." Fiqa berteriak dari balkon rumahnya.

Anak berpipi tembam itu berlari masuk ke dalam rumahnya. Buru-buru ia menutup pintu utama.

"Kenapa lari-lari?"

"Mama, papa kapan pulang?"

"Nanti sore. Udah kangen, ya?" Mel tersenyum. "Di atas aja yuk ngobrolnya."

Qila hanya mengangguk tanpa memberitahu yang sebenarnya.

"Bolanya mana?" sambut Fiqa di ujung tangga.

"Ini." Qila memberikan bola yang ada di tangannya. "Mama, aku mau chat papa."

"Ngapain? Nanti juga pulang." Mel sedang memerhatikan wajah anak terakhirnya yang sedang tertidur pulas.

Oh Baby, Baby, Twins! (Selesai)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt